Kamis, 29 September 2016
Perempuan Berdaya, Keluarga dan Masyarakat Sejahtera
“Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) Pantura Mekar Jaya Desa Kalipang, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang harus solid dan mandiri agar mampu membawa perubahan di masyarakat,” tegas Ibu Budi Dayanti, KaBid. PKHPP BP3AKB Provinsi Jawa Tengah. Motivasi tersebut disampaikan pada sambutan di awal kegiatan Supervisi dan Pendampingan Program Pendidikan Kemasyarakatan Berperspektif Gender (PKBG), Rabu (21/09) lalu.
Program PKBG merupakan sebuah program pendidikan kritis untuk perempuan kerjasama antara Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) wilayah Jawa. Program ini sudah dilaksanakan di 9 kabupaten, dan rencananya akan dikembangkan di seluruh kab./kota di wilayah Jawa Tengah.
Inginkah UMKM dan Koperasi Kuat?
Awal Agustus lalu di
Jakarta dihelat konferensi internasional Forum Ekonomi Islam Dunia
(WIEF) ke-12 bertema “Desentralisasi Pertumbuhan, Memberdayakan Bisnis
Masa Depan?” Tidak kurang, dari Presiden Joko Widodo dan belasan kepala
negara hadir dalam pembukaannya.
Ketika ribuan tokoh
berbagai penjuru dunia berkumpul, kita pun bertanya: adakah hasilnya
berpengaruh pada dunia yang makin didera kesenjangan ekonomi yang
melebar? Tun Musa Hitam, ketua penyelenggara, menyampaikan dalam pidato
penutup, WIEF tidak bermaksud mengumpulkan tokoh-tokoh “elite” untuk
berbicara isu ekonomi sebagai isu yang “elite.”
WIEF menyadari sebagian
besar Muslim ataupun yang bukan, di seluruh dunia, adalah mereka yang
ada di bottom of the pyramid, yaitu pengusaha dan skala usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM). Karenanya, diskusi WIEF haruslah kaya masukan
“dari bawah” yang membahas pengembangan UMKM.
Di Indonesia, jumlah usaha
mikro mencapai 98,8 persen dari seluruh unit usaha dan usaha kecil satu
persen. Bila digabung, usaha mikro dan kecil 99,8 persen dari seluruh
entitas usaha di Indonesia. Adapun usaha berskala menengah hanya 0,1
persen dan usaha besar 0,01 persen.
Sinergitas JARPUK dengan SKPD Tingkat Kabupaten Program Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP)
Pembangunan yang responsif gender dihadirkan sebagai perspektif dalam
pemberdayaan perempuan dan ekonomi, khususnya di pedesaan. Perspektif
gender menjadi penting bagi perempuan dalam melakukan pengembangan
ekonomi. Tanpa pemahaman gender yang baik, pengembangan ekonomi bagi
perempuan kemungkinan tidak akan berdampak pada proses
pemberdayaan,tetapi sebaliknya hanya akan mengeksploitasi diri
perempuan. Permasalahan perempuan di bidang ekonomi tidak terlepas dari
kemiskinan.
Selama ini, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah baru sebatas meningkatkan ketrampilan, pemberian modal, akses pasar tetapi persoalan lain belum tersentuh, persoalan lain yang dihadapi perempuan disektor ekonomi mikro adalah model pendekatan program pengentasan kemiskinan lebih banyak terpaku pada forum-forum formal, pengelolaan program belum mengintegrasikan pendidikan, kesehatan, politik dan ekonomi. Masing-masing SKPD berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergisitas dengan SKPD/stakeholder lokal ditingkat desa/kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Jaringan Perempuan Pelaku Usaha Kecil (Jarpuk) di beberapa Kabupaten yang telah dibentuk BP3AKB Provinsi Jawa Tengah bersama Asppuk Wilayah Jawa selama ini kurang berkembang secara maksimal karena kurangnya dukungan SKPD terkait di tingkat Kabupaten dalam hal penganggaran yang responsif gender untuk mendukung program PPEP secara umum dan program Jarpuk secara khusus.
Selama ini, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah baru sebatas meningkatkan ketrampilan, pemberian modal, akses pasar tetapi persoalan lain belum tersentuh, persoalan lain yang dihadapi perempuan disektor ekonomi mikro adalah model pendekatan program pengentasan kemiskinan lebih banyak terpaku pada forum-forum formal, pengelolaan program belum mengintegrasikan pendidikan, kesehatan, politik dan ekonomi. Masing-masing SKPD berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergisitas dengan SKPD/stakeholder lokal ditingkat desa/kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Jaringan Perempuan Pelaku Usaha Kecil (Jarpuk) di beberapa Kabupaten yang telah dibentuk BP3AKB Provinsi Jawa Tengah bersama Asppuk Wilayah Jawa selama ini kurang berkembang secara maksimal karena kurangnya dukungan SKPD terkait di tingkat Kabupaten dalam hal penganggaran yang responsif gender untuk mendukung program PPEP secara umum dan program Jarpuk secara khusus.
Perempuan Kepala Keluarga Mampukah Berdaya dan Mandiri?
Pada tahun 2013, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan
terdapat 65 juta keluarga di lndonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar
14% (9 juta) dikepalai oleh perempuan. BPS telah mengkualifikasikan
bahwa orang yang dapat disebut sebagai kepala keluarga yakni orang yang
dalam kenyataannya bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari dalam
sebuah rumah tangga atau orang yang dianggap sebagai kepala keluarga.
Nilai sosial budaya masyarakat, umumnya masih menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat. Sebagaimana secara tegas juga tertulis di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, bahwa dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di lndonesia, kepala keluarga adalah suami atau laki-laki.
Berpijak dari itulah, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga tidak sepenuhnya diakui baik dalam sistem hukum yang berlaku, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya perempuan kepala keluarga menghadapi diskriminasi hak dalam kehidupan sosial politiknya.
Nilai sosial budaya masyarakat, umumnya masih menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat. Sebagaimana secara tegas juga tertulis di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, bahwa dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di lndonesia, kepala keluarga adalah suami atau laki-laki.
Berpijak dari itulah, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga tidak sepenuhnya diakui baik dalam sistem hukum yang berlaku, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya perempuan kepala keluarga menghadapi diskriminasi hak dalam kehidupan sosial politiknya.
Rabu, 28 September 2016
Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Berkelanjutan Bagi Kelompok Pelaku Usaha Mikro Provinsi Papua
“Pembangunan yang utuh adalah suatu model pembangunan
yang lebih bersifat transformatif, yang menyentuh seluruh aspek
kehidupan masyarakat, baik secara jasmani dan rohani. Di mana masyarakat
tampil sebagai subyek dan obyek dari pembangunan yang ditandai oleh
partisipasi secara nyata dalam pembangunan...”
(Benny Sweny, S.Sos., Direktur Eksekutif LPKP Provinsi Papua)
Lembaga Pengembangan Keagamaan Papua (LPKP) Provinsi Papua adalah sebuah lembaga keagamaan yang baru saja terbentuk namun mempunyai peranan yang cukup besar di Tanah Papua. Karena lembaga ini bermitra dengan Pemerintah Provinsi Papua, khususnya Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekda Provinsi Papua, untuk bersama-sama mewujudkan visi misi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera di segala aspek kehidupan. LPKP mendapatkan dukungan sumber daya (terutama pendanaan) dari Gubernur Lukas Enembe, S.IP., MH. dan Wakil Gubernur Klemen Tinal, SE., MM. melalui dukungan kebijakan pengalokasian anggaran dari dana otonomi khusus (Otsus) Provinsi Papua.
Kebijakan pengelolaan dana Otsus saat ini adalah 80% diperuntukan bagi kabupaten/kota di seluruh wilayah Papua, sedangkan 20% dialokasikan untuk Provinsi Papua, dengan peruntukan untuk pembangunan keagamaan dan pemberdayaan umatnya. Dari anggaran Otsus 20% ini, mengalir pada dua pos, pos yang pertama dikelola untuk para pimpinan lembaga keagamaan di Papua (Protestan, Katolik, Islam, Hindu, dan Budha), serta pos yang satunya dikelola oleh LPKP yang dibentuk atas kebijakan Gubernur Papua.
Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan
Secara kultural perempuan memegang peranan penting, baik di keluarga maupun di masyarakat. Perempuan banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti warungan, kerajinan, perdagangan, dan berbagai usaha lainnya. Mayoritas dari mereka mempunyai usaha dengan skala yang sangat kecil. Sebagai anggota keluarga, perempuan menjadi pengatur keuangan keluarga, pendidik anak, sekaligus pencari nafkah bersama suaminya.
Gambaran di atas diungkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS secara umum memperlihatkan bahwa di sektor lapangan pekerjaan utama (primer) di pedesaan, keterlibatan perempuan bukanlah beban atau hambatan dalam pembangunan, melainkan justru menjadi salah satu potensi dan asset dalam pembangunan. Bahkan dari 46 juta usaha mikro, kecil dan menengah, diketahui bahwa 60% pengelolanya dilakukan oleh kaum perempuan. Dengan jumlah yang cukup banyak ini, peran perempuan pengusaha menjadi cukup besar bagi ketahanan ekonomi, karena mampu menciptakan lapangan kerja, menyediakan barang dan jasa dengan harga murah serta mengatasi masalah kemiskinan. Oleh sebab itu, mereka perlu dikuatkan usahanya dengan cara berkelompok yang kemudian kelompok-kelompok tersebut didorong untuk membentuk sebuah jaringan.
Gambaran di atas diungkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS secara umum memperlihatkan bahwa di sektor lapangan pekerjaan utama (primer) di pedesaan, keterlibatan perempuan bukanlah beban atau hambatan dalam pembangunan, melainkan justru menjadi salah satu potensi dan asset dalam pembangunan. Bahkan dari 46 juta usaha mikro, kecil dan menengah, diketahui bahwa 60% pengelolanya dilakukan oleh kaum perempuan. Dengan jumlah yang cukup banyak ini, peran perempuan pengusaha menjadi cukup besar bagi ketahanan ekonomi, karena mampu menciptakan lapangan kerja, menyediakan barang dan jasa dengan harga murah serta mengatasi masalah kemiskinan. Oleh sebab itu, mereka perlu dikuatkan usahanya dengan cara berkelompok yang kemudian kelompok-kelompok tersebut didorong untuk membentuk sebuah jaringan.
Paradigma Baru Pendidikan Inklusif
Beberapa dasawarsa terakhir, banyak upaya yang dilakukan dunia
untuk menciptakan pendidikan universal dalam rangka pemenuhan hak dasar
pendidikan bagi semua anak. Pada tahun 1980-an, pertumbuhan pendidikan
universal tidak hanya melambat, tetapi di banyak negara bahkan berbalik
arah. Diakui bahwa ‘pendidikan untuk semua’ tidak terjadi secara
otomatis (Stubbs, 2002:16).
Deklarasi Dunia Jomtien 1990 di Thailand tentang pendidikan untuk semua, mencoba menjawab tantangan yang ada dengan melangkah lebih jauh dari sekedar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan, kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan ekslusi, yaitu anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnis minoritas dan kelompok-kelompok lainnya termasuk penyandang cacat. Dalam pasal II ayat 5 Jomtien dipertegas bahwa ‘langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan’ (Stubbs, 2002:16).
Instrumen internasional yang mendorong gerakan menuju pendidikan inklusif, terus digulirkan. Tahun 1994 dikeluarkan Pernyataan Salamca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktik pendidikan inklusif. Stubbs (2002:17) mengutip beberapa konsep inti inklusi dari pernyataan Salamanca, antara lain: (1) anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, (2) perbedaan itu normal adanya, (3) sekolah perlu mengakomodasi semua anak, (4) anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, (5) partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, (6) pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari inklusi, (7) kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan kebalikannya, (8) sekolah inklusif memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif, (9) inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.
Deklarasi Dunia Jomtien 1990 di Thailand tentang pendidikan untuk semua, mencoba menjawab tantangan yang ada dengan melangkah lebih jauh dari sekedar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan, kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan ekslusi, yaitu anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnis minoritas dan kelompok-kelompok lainnya termasuk penyandang cacat. Dalam pasal II ayat 5 Jomtien dipertegas bahwa ‘langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan’ (Stubbs, 2002:16).
Instrumen internasional yang mendorong gerakan menuju pendidikan inklusif, terus digulirkan. Tahun 1994 dikeluarkan Pernyataan Salamca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktik pendidikan inklusif. Stubbs (2002:17) mengutip beberapa konsep inti inklusi dari pernyataan Salamanca, antara lain: (1) anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, (2) perbedaan itu normal adanya, (3) sekolah perlu mengakomodasi semua anak, (4) anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, (5) partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, (6) pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari inklusi, (7) kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan kebalikannya, (8) sekolah inklusif memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif, (9) inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.
Langganan:
Postingan (Atom)