Jumat, 31 Juli 2015

Mampukah UU Desa Berdayakan Masyarakat Desa?

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mensahkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Setelah tujuh tahun dibahas di DPR, RUU Desa akhirnya disahkan menjadi UU di rapat Paripurna DPR, pada tanggal 18 Desember 2013 lalu. Terkait dengan pengesahan tersebut, pemerintah perlu melakukan persiapan agar desa mampu melaksanakan UU itu secara benar. Seperti diketahui, dengan berlakunya UU Desa ini, maka sekitar 73 ribu desa akan mendapat alokasi anggaran sebesar 10 persen dari APBN atau sebesar 48,7 triliun dari dana transfer ke daerah. Apabila ditambah 10 persen dari APBD maka setiap desa akan mendapat pendapatan sekitar 1 miliar per desa. Alokasi ini disesuaikan dengan jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, kondisi infrastruktur, dan luas wilayah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 72 Ayat 1-4 dalam UU Desa tersebut.

Perekonomian desa diharapkan dapat terus berkembang dengan pengesahan UU Desa ini. Pusat-pusat ekonomi baru berbasis desa diyakini dapat turut meningkatkan taraf hidup masyarakat desa dan mendongkrak perekonomian nasional ke depannya. Selain itu, kehadiran UU Desa diharapkan dapat meminimalisir berbagai permasalahan yang sering muncul, misalnya: kelangkaan pasokan barang, pengangguran, dan tingginya arus urbanisasi. Harapannya, setiap desa dapat mengembangkan produk-produk berbasis potensi lokal, sehingga harga-harga komoditas akan dapat dikendalikan. Hal lain yang penting dari UU Desa ini adalah mendorong desa-desa berbasis agraris menuju industri berbasis desa, salah satuya dengan membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun yang terpenting, proses transformasi menuju ‘industrialisasi desa’ tidak boleh menghancurkan lingkungan dan kearifan lokal yang dimiliki oleh desa.

Selasa, 28 Juli 2015

Kedaulatan Pangan Lokal Yang Berkelanjutan

Beberapa tahun terakhir  Indonesia diributkan persoalan impor pangan yang tak berkesudahan. Semenjak terjadi krisis ekonomi pada 1997, kondisi pangan di Indonesia semakin terpuruk. Saat pemerintah menandatangani perjanjian utang dengan IMF yang menyaratkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Indonesia, salah satunya adalah impor bahan pangan, dampaknya semakin nyata terutama semakin besarnya ketergantungan pada bahan pangan impor. Bahkan, beras yang katanya merupakan menu wajib masyarakat Indonesia pun telah terintimidasi dengan produk beras impor.

Di sisi lain, petani harus terus berjuang keras melawan derasnya arus bahan pangan impor tanpa ada mekanisme pengaman yang kuat dari pemerintah. Inilah titik balik kehancuran pangan di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia berada di bawah tekanan global yang cukup besar, dengan aturan perdagangan internasional yang tidak adil. Tentulah situasi ini berimbas di level daerah di mana petani sangat tergantung pada kebijakan pemerintah, tak ketinggalan juga terjadi di wilayah Jawa Tengah. Menilik perkembangan produksi pertanian di Jawa Tengah saat ini, yang secara statistik mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat (utamanya beras), yang bahkan mampu berkontribusi terhadap produksi beras nasional, semestinya krisis pangan tidak terjadi di Jawa Tengah. Namun, fakta berbicara sebaliknya. Tingkat kerawanan pangan di Jawa Tengah cukup mengkhawatirkan.