Kamis, 10 Januari 2019

Pemilu Jurdil


PEMILU merupakan sarana demokrasi prosedural untuk memilih para penyelenggara negara. Para teoritikus demokrasi memandang bahwa Pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil berbanding lurus dengan terpilihnya para penyelenggara negara yang berkualitas. Pemilu yang penuh kecurangan dan diwarnai ketidakadilan, akan menjadi sekadar menjadi formalitas dan tidak akan pernah bisa menghasilkan substansi yang diharapkan.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan banyak Pemilu sebelumnya, di dalamnya terjadi banyak tindakan yang menciderai asas jujur dan adil, bahkan sesungguhnya juga menciderai asas bebas dan rahasia. Karena itu, perlu ada pengawalan khusus kepada penyelenggaraan Pemilu 2019, agar benar-benar berjalan sesuai dengan asas yang telah ditetapkan, yaitu luber dan jurdil.

Jika Pemilu berjalan sesuai dengan asas tersebut, maka potensi-potensi negatif, terutama konflik yang bisa menyebabkan instabilitas negara relatif bisa dihindari. Kompetisi dalam Pemilu, sekeras apa pun, akan dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang bisa dimaklumi oleh semua pihak, dan karena itu bisa menerima hasilnya. Siapa pun yang menang, akan diterima dan didukung. Sementara yang kalah akan ditempatkan secara terhormat sebagai warga negara yang telah menunjukkan keseriuan dalam keterlibatan mengatur dan memperbaiki negara.

Penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil sangat ditentukan oleh tiga entitas yang terlibat, yaitu: penyelenggara Pemilu, kontestan Pemilu, rakyat pemilih, dan rezim penguasa. Jika ada satu saja dari keempat entitas tersebut tidak memiliki kemauan politik untuk mewujudkan kejujuran dan keadilan itu, maka kualitas Pemilu akan kembali ternoda dan siapa pun yang terpilih di dalam proses dengan pembiayaan mahal itu akan mengalami krisis legitimasi.

Penyelenggara Pemilu, baik KPU maupu Bawaslu mulai dari level paling atas sampai level paling bawah harus bertindak profesional dengan menempatkan seluruh kontestan Pemilu, baik partai politik maupun perorangan secara sama di hadapannya. Tidak boleh ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap salah satu atau beberapa di antara kontestan yang bisa menyebabkan ketidakadilan.

Dan yang terpenting adalah penyelenggara Pemilu benar-benar menjaga integritas dengan menghindarkan diri dari praktik jual-beli suara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik jual beli suara masih saja terjadi, bahkan di daerah-daerah perkotaan yang seolah tidak mungkin dilakukan. Praktik jual-beli suara memiliki implikasi sangat besar, karena bisa menyebabkan orang yang sesungguhnya berhak untuk mendapatkan kepercayaan rakyat dan mengendalikan kekuasaan, kehilangan kesempatan itu.

Sebaliknya, orang yang tidak berhak, justru bisa mengendalikan kekuasaan. Padahal, kekuasaan memiliki implikasi yang sangat besar kepada seluruh aspek kehidupan bernegara. Untuk memastikan para penyelenggara Pemilu bekerja secara profesional dan berintegritas, DKPP harus benar-benar memerankan diri sebagai lembaga yang bisa memberikan perspektif kepada para penyelenggara Pemilu bahwa penyelenggaraan Pemilu secara jujur dan adil merupakan puncak prestasi mereka. Mereka harus menjalankan itu secara konsisten. Jika penyelenggaraannya ternodai, apalagi oleh tindakan mereka sendiri, maka sesungguhnya mereka secara keseluruhan telah gagal dalam menjalankan amanah besar.

Kontestan Pemilu, baik partai politik maupun perorangan memiliki peran untuk memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada Pemilih. Para kontestan Pemilu harus tidak hanya memberikan informasi yang benar, bebas dari pembohongan, dan memberikan pencerahan politik, serta melakukannya dengan cara-cara yang beradab.

Para kontestan Pemilu harus segera meninggalkan cara-cara lama yang kotor dengan melakukan praktik politik uang, membeli suara, dan tindakan-tindakan curang yang lain. Mereka harus memiliki keinsyafan bahwa tujuan politik adalah untuk mewujudkan kebaikan dan perbaikan. Kebaikan tidak mungkin bisa diwujudkan dengan cara-cara yang tidak benar. 

Rakyat pemilih seharusnya sudah bisa mengambil banyak pelajaran dari banyak penyelenggaraan Pemilu, baik di era Orde Baru maupun era reformasi. Mereka harus menjadikan Pemilu benar-benar sebagai sarana untuk mendapatkan para penyelenggara negara yang berintegritas tinggi dan memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan berbagai urusan politik kenegaraan.

Masalah yang sampai saat ini masih melekat pada mayoritas pemilih adalah keinginan untuk disogok. Berdasarkan data dari berbagai lembaga survei yang masih bisa dipercaya, jumlah pemilih yang menjadikan pemberian terutama dalam bentuk uang sebagai preferensi untuk memilih masih sangat tinggi, bahkan di atas 70 persen.

Pemilu seharusnya menjadi arena partisipasi dan kesukarelaan warga negara, karena sikap itu bisa menjadi beban moral bagi penyelenggara negara. Dengan adanya kesukarelaan rakyat dalam memberikan  dukungan kepada para politisi yang sedang berkompetisi, mereka akan merasa memiliki utang moral, sehingga akan relatif berusaha untuk menjalankan amanah dengan baik.

Namun, jika mereka merasa bahwa mereka telah membeli jabatan dari rakyat, maka mereka akan melakukan apa saja, walaupun berbentuk penyelewengan kekuasaan yang ujungnya sangat merugikan rakyat dan merusak negara.

Sedangkan rezim penguasa (baca: petahana) harus bisa menahan diri dari menggunakan struktur-struktur negara secara tidak proporsional. Penggunaan sarana-sarana milik negara untuk kepentingan pemenangan dalam Pemilu akan menyebabkan ketidakadilan dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebab, petahana bisa menggunakan sarana dan prasarana secara tidak terbatas.

Sedangkan penantangnya melakukan “perlawanan” dengan sarana yang sangat terbatas. Itu berarti, kompetisi untuk memperebutkan amanah rakyat terjadi secara tidak fair alias tidak adil. Sesungguhnya, petahana sudah memiliki kesempatan untuk berkampanye selama lima tahun dengan realisasi janji-janji pada Pemilu yang di dalamnya petahan terpilih.

Jika satu periode politik itu benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk bekerja melakukan kebaikan dan perbaikan, maka sesungguhnya petahana tidak perlu melakukan kampanye lagi pada masa kampanye. Rakyat akan merasakan secara langsung efek positif dari kinerja rezim penguasa. Dan jika benar-benar dirasakan berprestasi, maka mereka tidak akan pindah ke lain hati. Wallahu a’lam bi al-shawab.


Penulis: Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, dan Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE

Sumber: Rilis.ID 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar