Beberapa dasawarsa terakhir, banyak upaya yang dilakukan dunia
untuk menciptakan pendidikan universal dalam rangka pemenuhan hak dasar
pendidikan bagi semua anak. Pada tahun 1980-an, pertumbuhan pendidikan
universal tidak hanya melambat, tetapi di banyak negara bahkan berbalik
arah. Diakui bahwa ‘pendidikan untuk semua’ tidak terjadi secara
otomatis (Stubbs, 2002:16).
Deklarasi Dunia Jomtien 1990 di Thailand tentang pendidikan untuk
semua, mencoba menjawab tantangan yang ada dengan melangkah lebih jauh
dari sekedar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dinyatakan bahwa
terdapat kesenjangan pendidikan, kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan ekslusi, yaitu anak perempuan, orang miskin, anak
jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnis
minoritas dan kelompok-kelompok lainnya termasuk penyandang cacat. Dalam
pasal II ayat 5 Jomtien dipertegas bahwa ‘langkah-langkah yang
diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama
kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral
dari system pendidikan’ (Stubbs, 2002:16).
Instrumen internasional yang mendorong gerakan menuju pendidikan
inklusif, terus digulirkan. Tahun 1994 dikeluarkan Pernyataan Salamca
dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang hingga saat
ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip
dan praktik pendidikan inklusif. Stubbs (2002:17) mengutip beberapa
konsep inti inklusi dari pernyataan Salamanca, antara lain: (1)
anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan
kebutuhannya, (2) perbedaan itu normal adanya, (3) sekolah perlu
mengakomodasi semua anak, (4) anak penyandang cacat seyogyanya
bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, (5) partisipasi
masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, (6) pengajaran yang terpusat
pada diri anak merupakan inti dari inklusi, (7) kurikulum yang
fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan kebalikannya, (8)
sekolah inklusif memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu
menciptakan masyarakat yang inklusif, (9) inklusi meningkatkan efisiensi
dan efektivitas biaya pendidikan.
Penegasan Salamanca tersebut memberikan landasan yang kuat terhadap
gerakan menuju pendidikan inklusif, termasuk di Indonesia. Lebih lanjut
disebutkan dalam Pasal 2 ‘Sekolah regular dengan orientasi inklusif
merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif,
menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat
inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu sekolah
inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan
meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem
pendidikan’.
Faktor Yang Berpengaruh
Banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan keberlangsungan pendidikan
inklusif. Menurut laporan seminar Agra dalam Stubbs (2002:129-130),
ditegaskan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif tergantung pada cara
pandang. Ada dua cara pandang yang melahirkan sistem pendidikan yang
berbeda bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Cara pandang pertama
menganggap ‘child as problem’. Akibat dari pandangan ini, maka anak tersebut dianggap (1)
does not respond, cannot learn, (2) has special needs, (3) needs
special equipment, (4) cannot get to school, (5) he/she is different
from other children, (6) needs special environment, and (7) needs
special teachers. Cara pandang seperti inilah yang memengaruhi
kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam implementasi pendidikan inklusif.
Mereka berpandangan bahwa tempat pendidikan yang cocok bagi anak
berkebutuhan khusus adalah di sekolah khusus, karena itu ketika mereka
harus diterima di sekolah regular, pihak sekolah merasa mendapat beban
baru dan pesimis dapat menangani pendidikannya secara optimal.
Cara pandang kedua adalah apa yang disebut ‘Education system as problem’. Pandangan
ini menganggap bahwa persoalan keberhasilan pendidikan tidak tergantung
pada faktor ‘anak’, akan tetapi faktor sistem pendidikan yang
digunakan. Jika pendidikan untuk semua belum berhasil mencapai hasil
yang optimal, maka sistemnya yang harus diperbaiki. Implikasinya adalah
harus ada perubahan cara pandang guru, modifikasi kurikulum dan
pembelajaran, modifikasi sistem penilaian, penyediaan lingkungan yang
aksesibel, pelibatan orangtua, pelatihan bagi kepala sekolah dan guru
yang berkelanjutan.
Implikasi dari pergeseran paradigma pendidikan ABK, maka sistem
pendidikan ABK bergeser dari sistem segregatif ke sistem integratif dan
inklusif. Sistem segregasi adalah sebuah sistem pendidikan yang
memisahkan ABK dari komunitas ‘normal’, mereka dilayani berdasarkan
jenis kelainannya dalam satu atau beberapa unit sekolah khusus untuk
satu atau beberapa jenis kelainan. Sistem integratif atau terpadu adalah
sistem sekolah reguler yang memberikan kesempatan kepada ABK untuk
mengikuti pendidikan bersama-sama dengan anak-anak sebaya yang lain bagi
yang memungkinkan. Sistem ini mengutamakan terjadinya integrasi fisik
dan sosial antara ABK dan non ABK. Sistem integratif mengharuskan siswa
ABK menyesuaikan dengan tuntutan sekolah. Pendidikan inklusif adalah
sistem pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak
tanpa kecuali (ABK dan non ABK) untuk mengikuti pendidikan di sekolah
reguler sesuai dengan potensi, hambatan dan kebutuhan khusus peserta
didik. Sistem ini mengutamakan terjadinya integrasi fisik, sosial dan
akademik bagi semua anak, dan mengharuskan sekolah menyesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan
ABK menemukan banyak bukti baru bahwa ABK dengan berbagai hambatan fisik
dan/atau intelektualnya, mereka mampu mengikuti pendidikan di
sekolah-sekolah reguler setelah guru dan sumber daya lain di sekolah,
kurikulum, dan pembelajaran didesain khusus sehingga memungkinkan setiap
individu mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing
(Yi Ding, 2006:9). Temuan semacam ini memperjelas bahwa paradigma
inklusif dapat mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK, dan sekaligus
mempertegas bahwa pendekatan segregatif bukan satu-satunya solusi dalam
memenuhi kebutuhan dan mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK.
Regulasi Pendidikan Inklusi
Di
Indonesia ada beberapa regulasi yang dapat dijadikan rujukan dalam
mengembangkan pendidikan inklusif. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional antara lain menjelaskan: Pasal 5 ayat (1): ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): ‘Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pendidikan khusus dapat diselenggarakan di sekolah khusus atau di sekolah reguler secara inklusif (lihat Penjelasan Pasal 15).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif, disebutkan bahwa, Pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya (pasal 1).
Dengan berbagai regulasi yang ada, jumlah sekolah inklusif di
Indonesia terus mengalami perkembangan, sampai dengan tahun 2014 telah
mencapai lebih dari 2100 sekolah inklusif (Kemendikbud, 2013). Namun
demikian kondisi ini belum dinilai maju dibanding dengan perkembangan
pendidikan inklusif di beberapa negara. Hasil penilaian UNESCO tahun
2009 menemukan bahwa pada awalnya dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif, tahun 2007 Indonesia menduduki ranking 58 dari 130 negara.
Tetapi karena berbagai faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan
pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh.
Ranking tersebut terus mengalami kemerosotan menjadi ranking 63 pada
tahun 2008 dan ranking 71 pada tahun 2009 (Kompas.com, 30 November 2009).
Menyadari keterbelakangan Indonesia dalam pendidikan inklusif,
Pemerintah dalam tiga tahun terakhir melakukan gerakan masiv pembudayaan
pendidikan inklusif melalui provinsi dan kabupaten/kota, serta
Perguruan Tinggi (PT). Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50 kab/kota
dan 6 provinsi, serta 5 PTN yang mendeklarasikan sebagai Provinsi,
Kab/Kota dan PT yang peduli terhadap pendidikan Inklusif. Gerakan masiv
ini diharapkan dapat mendorong lahirnya budaya pendidikan inklusif
menuju masyarakat dan bangsa yang inklusif.
Apa yang harus dilakukan?
Pemahaman
terhadap pendidikan inklusif di kalangan warga sekolah harus
diluruskan. Implementasi pendidikan inklusif tidak boleh difahami hanya
sekedar memberikan tempat dan ruang bagi penyandang cacat di sekolah
regular karena memenuhi tuntutan dunia. Pendidikan inklusif seharusnya
difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pada
peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas. Ketika konsep
pendidikan inklusif difahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi
pada mutu dan inovasi pendidikan maka pendidkan inklusif menjadi tugas
dan tanggung jawab serta kebutuhan bersama. Kepala Sekolah, Guru,
orangtua, dan masyarakat seharusnya terpanggil untuk mendukung dan
menyukseskan gerakan pendidikan inklusif. Kuncinya adalah kepala sekolah
dan guru. Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan
pesimis terhadap pendidikan inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif
dapat berkembang dan berlangsung dengan baik di sekolah tersebut. Untuk
mengubah cara pandang kepala sekolah dan guru dapat dilakukan dengan
berbagai cara.
Berikut ini mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut:
(1) Meluruskan persepsi tentang pendidikan inklusif. Prinsip utama dalam
pendidikan inklusif adalah pelayanan kepada semua anak sesuai dengan
potensi, hambatan dan kebutuhannya. Dengan prinsip ini maka semua anak
dengan kondisi apapun akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sekolah. (2) Pelatihan
berkelanjutan. Kepala sekolah dan guru perlu diberikan pembekalan
melalui pelatihan yang berkelanjutan tentang bagaimana menyiapkan,
merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan mengembangkan pendidikan
inklusif. Banyak hal teknis yang harus dimengerti dan dilaksanakan
kepala sekolah dan guru dalam implementasi pendidikan inklusif.
Pelatihan manajemen dan teknis layanan pendidikan di sekolah inklusif
perlu diberikan kepada mereka secara berkelanjutan. (3) Pengalaman ‘best practices’. Kepala
sekolah dan guru perlu melihat secara langsung praktik terbaik dalam
pendidikan inklusif di sekolah-sekolah yang telah menerapkan pendidikan
inklusif. Melalui observasi dan dialog dengan sekolah lain, akan muncul
keyakinan baru bahwa mengelola sekolah inklusif, bukan hal yang sulit,
melainkan sebuah tantangan menuju pendidikan yang lebih bermutu. (4)
Pengembangan sekolah model. Pemerintah perlu mengembangkan banyak
sekolah inklusif model di setiap daerah. Melalui sekolah model, dapat
dijadikan percontohan bagi sekolah lain yang akan mengembangkan
pendidikan inklusif. Semoga bermanfaat.
Penulis: Drs. Munawir Yusuf, M.Psi., Dosen PLB FKIP UNS Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar