Kamis, 29 September 2016

Perempuan Kepala Keluarga Mampukah Berdaya dan Mandiri?

Pada tahun 2013, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan terdapat 65 juta keluarga di lndonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 14% (9 juta) dikepalai oleh perempuan. BPS telah mengkualifikasikan bahwa orang yang dapat disebut sebagai kepala keluarga yakni orang yang dalam kenyataannya bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari dalam sebuah rumah tangga atau orang yang dianggap sebagai kepala keluarga.

Nilai sosial budaya masyarakat, umumnya masih menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat. Sebagaimana secara tegas juga tertulis di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, bahwa dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di lndonesia, kepala keluarga adalah suami atau laki-laki.

Berpijak dari itulah, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga tidak sepenuhnya diakui baik dalam sistem hukum yang berlaku, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya perempuan kepala keluarga menghadapi diskriminasi hak dalam kehidupan sosial politiknya.

Rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan merupakan kelompok termiskin dalam strata sosial ekonomi di lndonesia. Hal ini terkait erat dengan kualitas sumberdaya perempuan kepala keluarga yang rendah. Data dasar Sekretariat Nasional PEKKA di 8 provinsi menunjukkan bahwa perempuan kepala keluarga umumnya berusia antara 20-60 tahun, lebih dari 38.8% buta huruf dan tidak pernah duduk di bangku sekolah dasar sekalipun. Sebagian perempuan menghidupi antara 1-6 orang tanggungan, bekerja sebagai buruh tani dan sektor informal dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000,00 per hari. Banyak dari mereka bahkan telah mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah, termasuk pembatasan hak-haknya dalam kegiatan ekonomi. Terlepas dari semua kondisi kehidupan perempuan yang memprihatinkan, perempuan khususnya yang hidup di negara berkembang sebenarnya memiliki peran tersendiri sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan.

Penguatan Kapasitas PEKKA 

Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui BP3AKB Provinsi Jawa Tengah menginisiasi kegiatan Capacity Building sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang kritis terhadap isu-isu perempuan dan pengembangan ekonomi mikro dalam menghadapi persaingan ekonomi dan mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan, terutama di wilayah Jawa Tengah.

Inisiasi awal ini melibatkan 30 perempuan kepala keluarga di wilayah Pantura (Kabupaten Pemalang, Batang, Pekalongan, dan Kota Pekalongan) yang dilaksanakan pada 22-23 September di Hotel Sahid Mandarin Pekalongan. Melalui kegiatan ini diharapkan akan; (1) Terindentifikasi permasalahan/isu gender yang terkait dengan perempuan kepala keluarga (baik akses permodalan, pemasaran, produksi, budaya patriarkhi, dlsb), (2) Meningkatkan kapasitas dan wawasan perempuan kepala keluarga tentang gender dan pembangunan, serta (3) Membangun kesadaran kritis perempuan kepala keluarga dalam mendorong kebijakan yang responsif gender.

BP3AKB sebagai leading sector penguatan kapasitas perempuan, dan secara khusus perempuan kepala keluarga, telah berkomitmen untuk menginisiasi dan mengawal program-program penguatan perempuan kepala keluarga dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Hal ini secara tegas disampaikan oleh Kepala BP3AKB Provinsi Jawa Tengah, Dra. Sri Kusuma Astuti, M.Si. dalam sambutannya pada saat pembukaan kegiatan.

Ke depan, program penguatan kapasitas perempuan kepala keluarga secara bertahap akan diperluas di seluruh kab/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Harapannya melalui program ini, perempuan kepala keluarga akan semakin berdaya dan mandiri, sehingga dapat mendukung program percepatan pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Pemprov Jateng. (IS)


Ditulis oleh: Iwan Setiyoko
Fasilitator Capacity Building PEKKA & Anggota KEW ASPPUK Jawa
Bisa dibaca juga diyskk.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar