Minggu, 14 Oktober 2018

Pemuda, penggejolak keberdayaan desa




“Jangan takut perubahan, kita mungkin kehilangan sesuatu yang baik, namun kita akan memperoleh sesuatu yang lebih baik.” -Andrew Nugraha

Dulu, desa identik dengan kemiskinan, kumuh, dan keterbelakangan. Mayoritas masyarakat desa, terutama para generasi muda, malu untuk mengakui desa sebagai tempat kelahiran dan tempat asal mereka. Sehingga, mereka lebih memilih untuk mencari kerja di perkotaan setelah menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Dampaknya, desa pun semakin terpuruk dalam lubang kelam, karena generasi muda sebagai angkatan produktif tidak mau terlibat dalam proses-proses pembangunan di desanya.
Namun saat ini, pasca implementasi UU Desa No 6 tahun 2014, geliat perubahan mulai bermunculan di pelosok-pelosok desa. Hal ini didorong dengan berbagai peluang yang mengiringi penerapan UU Desa tersebut. Secara penuh, desa diberikan otoritas (kewenangan) dalam mengembangkan dan memajukan desa masing-masing. Desa menjadi objek sekaligus subjek pembangunannya sendiri, dengan dukungan Alokasi Dana Desa (ADD). Hingga tahun ini, pemerintah telah menyalurkan Dana Desa sebesar Rp 187,65 triliun, dengan rata-rata desa mendapatkan dana antara Rp. 800 juta hingga Rp. 1 miliar tergantung luas wilayah dan jumlah penduduknya, dan akan terus ditingkatkan di tahun-tahun mendatang.
Peluang emas keberdayaan desa 
Secara umum berdasarkan UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain: (1) meningkatkan pelayanan publik di desa; (2) mengentaskan masyarakat dari kemiskinan; (3) memajukan perekonomian desa, (4) mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa; serta (5) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Alokasi dana desa yang terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun, harus dapat dioptimalkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga dapat berkontribusi positif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan lapangan kerja baru, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan masyarakat. Sudahkah tujuan dan harapan baik tersebut terwujud saat ini?
Pelan tapi pasti, setapak demi setapak mulai terlihat adanya desa-desa yang bergerak dan berproses dalam kemajuan menuju kemandirian. Dalam pidatonya saat HUT RI ke-73 di Bengkulu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo menegaskan pelaksanaan Dana Desa telah berhasil menurunkan jumlah desa tertinggal sebanyak 8.035 desa. Jumlah itu melampaui target pemerintah dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang hanya mematok pengentasan 5.000 desa tertinggal. Selain itu, sebanyak 2.318 desa statusnya telah menjadi desa mandiri. Capaian ini juga sudah memenuhi target di dalam RPJMN, yaitu meningkatkan 2.000 desa mandiri. Berkaitan dengan pembangunan daerah tertinggal, sampai akhir Tahun 2017, dari total 122 daerah tertinggal sebanyak 59 daerah berpotensi terentaskan.
Selain itu, berdasarkan data dari Kemendesa PDTT (tahun 2017), ada 157 desa di Indonesia yang mampu menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) lebih dari Rp. 1 miliar karena mampu memaksimalkan pengelolaan potensi sumber daya di wilayahnya, bahkan melebihi nilai transfer dana desa (DD) atau alokasi dana desa (ADD). Pada level tertinggi, ada 4 desa di Indonesia memiliki PADes di atas Rp. 5 miliar, yaitu Desa Bokoharjo (Sleman, DIY dengan PADes Rp 7,7 miliar); Desa Kutuh (Badung, Bali dengan PADes Rp. 6,8 miliar), Desa Nglinggis (Trenggalek, Jatim dengan PADes Rp. 5,8 miliar); dan Desa Gempolan (Karanganyar, Jateng dengan PADes Rp. 5,3 miliar). Di Sumatera, unicorn desa terdapat di Aceh (2 desa), Sumatera Barat (1 desa), Sumatera Selatan (3 desa), dan Lampung (1 desa). Di Jawa terdapat di Jawa Barat (6 desa), Jawa Tengah (86 desa), DI. Yogyakarta (9 desa), dan Jawa Timur (41 desa). Bali menyumbang 3 Desa. Di Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat (1 desa) dan Kalimantan Selatan (2 desa), sedangkan di Sulawesi Selatan menambah 2 desa.

Pemuda kunci perubahan
Garis merah dari keberhasilan transformasi desa tersebut adalah peran aktif generasi muda dalam setiap prosesnya. Karenanya, pemuda sebagai pemilik peradaban di masa depan, harus ikut andil secara aktif dalam proses-proses pembangunan di desanya. Jika generasi muda hanya acuh tak acuh terhadap kondisi desa dan menerima perkembangan yang terjadi dengan apa adanya, maka akan sangat sulit untuk mewujudkan kemajuan desa secara lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sebagaimana ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Anwar Sanusi, “Pemuda itu memiliki pemikiran, tenaga yang besar, semangat, dan kreatifitas untuk bergerak dalam pembangunan di desa. Jika pemuda dapat diberdayakan secara maksimal di 74.910 desa, saya yakin itu akan memberi dampak signifikan.”
Mulai saat ini, para pemuda desa harus bermetamorfosis menjadi pegiat desa. Berpetualang sesering mungkin untuk main (menjelajahi) pelosok desanya masing-masing, mengidentifikasi dan memetakan permasalahan yang ada dan potensi sumber daya yang tersedia, kemudian merumuskan langkah-langkah konkret yang solutif terhadap kebutuhan masyarakat. Bergaul dengan sebanyak-banyaknya sesepuh (tokoh) baik di internal desa maupun luar desa untuk menyerap ilmu, pengalaman, dan ide-ide kreatif mereka dalam mendukung kemajuan desa.
Selain itu, untuk memadukan potensi muda yang beragam, para pemuda desa harus nge-genk (mengorganisir diri) dalam komunitas-komunitas penggerak perubahan dalam ranah apapun, baik di level desa maupun di level yang lebih luas. Komunitas ini sebagai wadah knowledge sharing dan gerakan bersama yang akan mengakumulasi perubahan-perubahan positif bagi pribadi dan lingkungannya. Dengan begitu, perubahan-perubahan nyata di desa akan semakin terakselerasi dan terus membesar layaknya bola salju. Jika bola-bola salju ini semakin banyak dan dan menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa di seluruh wilayah Indonesia, maka bisa dipastikan semangat 'Desa Membangun Indonesia' akan segera terwujud. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar