“Jangan takut
perubahan, kita mungkin kehilangan sesuatu yang baik, namun kita akan
memperoleh sesuatu yang lebih baik.” -Andrew
Nugraha
Dulu,
desa identik dengan kemiskinan, kumuh, dan keterbelakangan. Mayoritas
masyarakat desa, terutama para generasi muda, malu untuk mengakui desa sebagai
tempat kelahiran dan tempat asal mereka. Sehingga, mereka lebih memilih untuk
mencari kerja di perkotaan setelah menyelesaikan pendidikan formal di sekolah.
Dampaknya, desa pun semakin terpuruk dalam lubang kelam, karena generasi muda
sebagai angkatan produktif tidak mau terlibat dalam proses-proses pembangunan
di desanya.
Namun
saat ini, pasca implementasi UU Desa No
6 tahun 2014, geliat perubahan mulai bermunculan di pelosok-pelosok desa. Hal
ini didorong dengan berbagai peluang yang mengiringi penerapan UU Desa
tersebut. Secara penuh, desa diberikan otoritas (kewenangan) dalam
mengembangkan dan memajukan desa masing-masing. Desa menjadi objek sekaligus
subjek pembangunannya sendiri, dengan dukungan Alokasi Dana Desa (ADD). Hingga
tahun ini, pemerintah telah menyalurkan Dana Desa sebesar Rp 187,65 triliun, dengan
rata-rata desa mendapatkan dana antara Rp. 800 juta hingga Rp. 1 miliar
tergantung luas wilayah dan jumlah penduduknya, dan akan terus ditingkatkan di
tahun-tahun mendatang.
Peluang emas keberdayaan
desa
Secara umum berdasarkan UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain: (1) meningkatkan pelayanan publik di desa; (2) mengentaskan masyarakat dari kemiskinan; (3) memajukan perekonomian desa, (4) mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa; serta (5) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Secara umum berdasarkan UU Desa, tujuan dari dana desa antara lain: (1) meningkatkan pelayanan publik di desa; (2) mengentaskan masyarakat dari kemiskinan; (3) memajukan perekonomian desa, (4) mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa; serta (5) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Alokasi
dana desa yang terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun, harus dapat dioptimalkan
untuk mendorong percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga
dapat berkontribusi positif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui
peningkatan lapangan kerja baru, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan
kesenjangan masyarakat. Sudahkah tujuan dan harapan baik tersebut terwujud saat
ini?
Pelan
tapi pasti, setapak demi setapak mulai terlihat adanya desa-desa yang bergerak
dan berproses dalam kemajuan menuju kemandirian. Dalam pidatonya saat HUT RI
ke-73 di Bengkulu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo menegaskan pelaksanaan Dana Desa telah
berhasil menurunkan jumlah desa tertinggal sebanyak 8.035 desa. Jumlah itu
melampaui target pemerintah dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang hanya mematok
pengentasan 5.000 desa tertinggal. Selain itu, sebanyak 2.318 desa statusnya
telah menjadi desa mandiri. Capaian ini juga sudah memenuhi target di dalam
RPJMN, yaitu meningkatkan 2.000 desa mandiri. Berkaitan dengan pembangunan
daerah tertinggal, sampai akhir Tahun 2017, dari total 122 daerah tertinggal
sebanyak 59 daerah berpotensi terentaskan.
Selain
itu, berdasarkan data dari Kemendesa PDTT (tahun 2017), ada 157 desa di Indonesia
yang mampu menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) lebih dari Rp. 1 miliar
karena mampu memaksimalkan pengelolaan potensi sumber daya di wilayahnya,
bahkan melebihi nilai transfer dana desa (DD) atau alokasi dana desa (ADD).
Pada level tertinggi, ada 4 desa di Indonesia memiliki PADes di atas Rp. 5
miliar, yaitu Desa Bokoharjo (Sleman, DIY dengan PADes Rp 7,7 miliar); Desa
Kutuh (Badung, Bali dengan PADes Rp. 6,8 miliar), Desa Nglinggis (Trenggalek,
Jatim dengan PADes Rp. 5,8 miliar); dan Desa Gempolan (Karanganyar, Jateng
dengan PADes Rp. 5,3 miliar). Di Sumatera, unicorn desa terdapat di Aceh (2
desa), Sumatera Barat (1 desa), Sumatera Selatan (3 desa), dan Lampung (1
desa). Di Jawa terdapat di Jawa Barat (6 desa), Jawa Tengah (86 desa), DI. Yogyakarta
(9 desa), dan Jawa Timur (41 desa). Bali menyumbang 3 Desa. Di Kalimantan
terdapat di Kalimantan Barat (1 desa) dan Kalimantan Selatan (2 desa),
sedangkan di Sulawesi Selatan menambah 2 desa.
Pemuda kunci perubahan
Mulai
saat ini, para pemuda desa harus bermetamorfosis menjadi pegiat desa.
Berpetualang sesering mungkin untuk main (menjelajahi)
pelosok desanya masing-masing, mengidentifikasi dan memetakan permasalahan yang
ada dan potensi sumber daya yang tersedia, kemudian merumuskan langkah-langkah
konkret yang solutif terhadap kebutuhan masyarakat. Bergaul dengan
sebanyak-banyaknya sesepuh (tokoh)
baik di internal desa maupun luar desa untuk menyerap ilmu, pengalaman, dan
ide-ide kreatif mereka dalam mendukung kemajuan desa.
Selain itu, untuk memadukan potensi muda yang beragam, para pemuda desa harus nge-genk (mengorganisir diri) dalam komunitas-komunitas penggerak perubahan dalam ranah apapun, baik di level desa maupun di level yang lebih luas. Komunitas ini sebagai wadah knowledge sharing dan gerakan bersama yang akan mengakumulasi perubahan-perubahan positif bagi pribadi dan lingkungannya. Dengan begitu, perubahan-perubahan nyata di desa akan semakin terakselerasi dan terus membesar layaknya bola salju. Jika bola-bola salju ini semakin banyak dan dan menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa di seluruh wilayah Indonesia, maka bisa dipastikan semangat 'Desa Membangun Indonesia' akan segera terwujud. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar