Senin, 22 Oktober 2018

Gempa, Tsunami, Likuifaksi, dan Revolusi Kurikulum


Bencana gempa yang terjadi di Sulawesi Tengah tidak hanya meninggalkan jejak duka mendalam, tetapi sekaligus seharusnya mengingatkan kita kembali betapa materi atau kurikulum pendidikan harus direvolusi, berubah orientasi dari pengetahuan yang sebagian tidak jelas tujuannya menjadi pengajaran ilmu aplikatif, dan jelas manfaatnya dalam kehidupan. Ungkapan saya mungkin terdengar lancang, tapi bukan tanpa alasan. Indonesia membutuhkan perubahan sesegera mungkin dan tidak boleh ditunda terkait pendidikan.

Sebelum membahas lebih lanjut, izinkan saya kembali pada memori tsunami di Aceh. Saat itu, menurut cerita suami yang bertugas di sana, seorang jurnalis dari stasiun televisi NHK Jepang yang ditemui menyimpulkan betapa sebagian besar masyarakat Aceh sama sekali tidak tahu apa pun tentang tsunami. Sebagian lagi bahkan baru pertama kali dalam hidup mendengar istilah tsunami.

Ironis sebab mereka harus menjadi korban dahulu sebelum memahami fenomena alam yang dahsyat tersebut. Suami sendiri menemukan tulisan berbeda-beda di banyak tenda. Ada yang menulis korban sunami, korban tsunami, dan banyak salah eja lain.

Seharusnya, pendidikan di Tanah Air sudah mengajarkan dan menyosialisasikan hal ini sedini mungkin. Saya ingat, sejak kecil tahu bahwa Jepang merupakan negara yang sering diserang gempa. Pendapat saya dengan segera terkoreksi obrolan suami dan si jurnalis. Menurut dia, gempa di Indonesia jauh lebih sering daripada di Negeri Sakura.

Artinya, Jepang lebih peduli dan paham pengetahuan apa saja yang dibutuhkan para pelajar. Sedangkan pembuat kurikulum di Indonesia malas atau takut mengubah kurikulum, menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan dan membuang yang tidak penting. Padahal, jika bencana alam menjadi bagian dari kurikulum wajib, insya allah akan lebih banyak jiwa terselamatkan.

Terbukti, ketika terjadi tsunami di Serambi Makkah, ternyata jumlah korban di daerah sana tidak sama. Sabang contohnya, termasuk yang relatif sedikit. Salah satu sebab jumlah korban lebih minim, yaitu sewaktu air laut tiba-tiba menyurut, ratusan ikan menggelepar di sepanjang pantai, membuat penduduk berhamburan memunguti. Namun, seorang tetua cepat-cepat mengingatkan, “Hati-hati, kalau air laut surut tiba-tiba, nanti akan datang gelombang besar.”

Peringatan itu mengembalikan penduduk ke daratan. Ditambah kontur tanah di pulau, tempat dataran tinggi tidak jauh dari pantai sehingga lebih banyak yang selamat. Hal sebaliknya terjadi di Banda Aceh, ketika air laut di pantai mendadak surut dan ikan berserakan dalam jumlah tak terbilang, tidak ada yang mengingatkan bahaya tsunami.

Akibatnya, ribuan orang terempas ombak keras. Kejadian semakin buruk ditambah kondisi tanah di Banda Aceh yang datar. Seandainya informasi dan pengetahuan di atas diajarkan sejak SD atau SMP mungkin ceritanya berbeda. Stasiun TV NHK juga meliput Pulau Simeulue yang posisinya jauh lebih dekat dari pusat gempa, tapi korban tsunaminya pun relatif sedikit. Menurut berita, ada tetua yang turut mengingatkan hal serupa.

Ketika suami meliput gempa di Yogya, dan berkesempatan bertemu jurnalis lain dari Negeri Matahari Terbit, ia menemukan penyebab banyak rumah ambruk karena sudut dindingnya hanya dibuat dari tumpukan bata silang tanpa besi penyangga. Konstruksi yang sama sekali tidak disiapkan untuk mampu menahan guncangan keras. Beberapa ilustrasi di atas menjadi bukti betapa pengetahuan, bisa mengurangi jumlah korban.

Setelah apa yang terjadi di Aceh masyarakat Indonesia baru berkenalan dengan tsunami, dan pemerintah mulai serius menyiapkan langkah-langkah antisipasinya, meski belum maksimal. Akan tetapi, gempa di Sulawesi Tengah memopulerkan kata baru, likuifaksi tanah atau pencairan tanah menjadi lumpur. Ini fenomena yang tidak banyak diketahui masyarakat.

Dan kini sekali lagi terjadi, masyarakat harus menjadi korban lebih dulu sebelum sekadar mengetahui istilah tersebut. Walau dampak likuefaksi tidak separah tsunami, tapi ketidaktahuan atas ancaman yang berpotensi menyerang dan merenggut nyawa, sangat penting.

Tanpa pendidikan bencana, masyarakat Indonesia yang berada di daerah rawan fenomena alam, seolah menapaki area perang tanpa mengerti medan. Atas alasan itu, pemerintah melalui departemen pendidikan–terutama pendidikan dasar dan menengah--harus merevolusi kurikulum.

Mengkaji ulang hal yang penting untuk diketahui siswa bahkan sanggup menyelamatkan nyawa, yang selama ini tidak diajarkan di sekolah. Sekaligus menghapus pengetahuan yang tingkat kepentingannya tidak mendesak. Hanya dengan demikian, kita bisa memasukkan materi baru tanpa membebani anak-anak dengan waktu tambahan.

Memasukkan pengetahuan bencana alam jelas sebuah keharusan yang urgen, mengingat besarnya potensi bencana di Indonesia. Satu lagi, bencana tidak peduli usia. Termasuk bencana akibat kelalaian, misal bencana asap, kebakaran, dll. Sertakan semua contoh dan gambar berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia, agar semua bisa belajar.

Iseng, sebelum menyelesaikan tulisan ini saya sempatkan membuka buku-buku pelajaran yang dipakai siswa sekolah menengah. Segera saya tertakjub-takjub. Ananda-ananda kita masih mempelajari posisi negara; berapa bujur barat, berapa derajat bujur timur. Persoalannya, apa manfaat mendesak pengetahuan tersebut? Hingga usia 46, belum pernah saya memakai pengetahuan itu, saya kira demikian pula kebanyakan kita.

Hal lain para siswa diharuskan menghapal nama planet juga jumlah satelit dalam planet, bahkan jarak dari bumi. Sekali lagi, apa urgensinya? Kebutuhan ilmu tersebut tidak sebanding kepentingannya dengan pengetahuan yang diperlukan anak terkait bencana, pertolongan pertama pada kecelakaan, kelistrikan rumah tangga, imunisasi, herbal, dan hal lain yang bukan cuma jauh bermanfaat melainkan besar kemungkinan terpakai dalam kehidupan.

Dulu kita tidak siap diserang tsunami. Sekarang kita lumpuh saat diterjang likuifaksi. Bahkan, gempa dan gunung meletus saja masih banyak masyarakat yang belum mengetahui standar terbaik dalam menyelamatkan diri. Bagaimana jika nanti ada wabah penyakit, angin topan, tornado, banjir bandang, hujan debu, dll. Sudahkah sekolah menyiapkan anak-anak menghadapinya pada masa depan, secara orang tua mereka jelas tidak dibekali.

Apalagi, sebenarnya sangat strategis mengajarkan anak-anak yang berpikiran terbuka hingga perubahan pola pikir bisa dimulai dari pendidikan dasar. Saya berharap suatu saat jika kurikulum kita sudah dibenahi mungkin anak-anak akan bolak balik mengingatkan orang tuanya, "Bu, apakah saya sudah diimunisasi ini?" atau “Pak, kalau bangunan seperti ini katanya tidak tahan gempa." Pertanyaan kritis dari mereka akan menjadi pengingat, dan insya Allah membuat Indonesia lebih baik.

Yang jelas, bencana alam pasti terjadi lagi. Apakah kita hanya diam dan menerima? Jika anak Indonesia dididik dengan pengetahuan yang tepat, mereka bisa muncul sebagai pahlawan, bahkan pada usia muda, seperti Tilly Smith. Gadis berusia 10 tahun ini sedang berada di Phuket saat terjadi gempa Tsunami Aceh yang tsunaminya sampai Thailand. Saat air surut tiba-tiba dan ada gelombang datang, sang anak teringat video sains tentang tsunami yang diputar di sekolah. Ia cepat memberi tahu ayah ibunya akan ada tsunami, tapi kedua orang tua menyepelekan.

Tak kehabisan akal, gadis itu berteriak keras membuat semua orang panik dan berlarian kembali ke hotel. Dengan modal pengetahuan dari sekolah, Tilly kecil menyelamatkan ratusan nyawa. Tidak ada satu pun korban di pantai tersebut. Atas tindakannya, ia diberi julukan 'Angel of The Beach' atau malaikat pantai, dan menerima berbagai penghargaan dunia.

Bola telah digulirkan, kini semua ada di tangan pembuat kurikulum. Seberapa mereka berani mengubah dan memperbarui materi pendidikan agar anak bangsa mampu menghadapi berbagai kemungkinan terburuk dengan peluang terbaik.


Penulis: Asma Nadia
Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar