Selasa, 11 Juli 2017

Koperasi dan Ketimpangan


Tanggal 12 Juli selalu diperingati sebagai hari koperasi dunia. Sudah dua hari ini, Senin (10 Juli 2017) dan Selasa (11 Juli 2017) HU Kompas menurunkan headline tentang Koperasi. Hari koperasi tahun 2017, berdampingan dengan pelaksanaan KTT G-20, di Hamburge, Jerman. Salah satu seruan Presiden Joko Widodo dalam pidato di KTT adalah tingginya ketimpangan antara kelompok “the have” dan “the have not”. Di sinilah letak “relevansi” pembicaraan dua topik tersebut. Sejatinya model koperasi menjadi “opsi” pengurai ketimpangan. Sayang, topik itu tidak menjadi fokus pembicaraan KTT.

Padahal, realitasnya koperasi makin signifikan terhadap kondisi perekonomian dunia. Penulis teringat hasil diskusi tentang “koperasi sebagai tulang punggung ekonomi bekelanjutan” (cooperative for sustainable future), 17 Juli 2016, di auditorium Magister Management UI Salemba, Jakarta, yang digagas Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (FEB Universitas Indoensia). 

Dalam diskusi, terungkap kajian FEB UI bahwa di negara yang memiliki kooperasi maju, akan berdampak pada kontribusi siginifikan PDB (produk domistik bruto) negrinya. Contoh, di Swedia, dari 5 kooperasi besar bila dijumlahkan mencapai 3,49% dari PDB atau senilai 200 trilyun.

Dari sisi pengelolaan dan kepemimpinan, model kooperasi adaptif terhadap pemerataan dan kesejahteraan pelakunya. Contoh umum ialah perbedaan kepemilikan klub sepakbola Barcelona dari Spanyol dan Arsenal di Inggris. Barcelona FC dimiliki penggemar. Sementara saham Arsenal terbesar hanya dipunyai 4 orang pemilik. Apa dampaknya? Akibatnya harga tiket pertandingan sepak bola Barcelona di stadiun Camp Nou lebih murah dibanding pertandingan Arsenal di stadiun Emirates. Luar biasa bukan…

Dari sisi pengelolaan dan kepemimpinan, model kooperasi dinilai adaptif terhadap pemerataan dan kesejahteraan pelakunya. Ada perbedaan pengelolaan managemen antara kooperasi dan Multinasional Coorporation (MNC). Gerakan kooperasi sering menyebut Mondragon sebagai contoh. MCC atau Mondragon Cooporation Cooperative (MCC), merupakan kooperasi pekerja provinsi Basque, Spanyol, yang berdiri 1945, dan beranggotakan 62.764 (tahun 2005). Kooperasi ini memanage 264 perusahaan di tiga bidang; keuangan, industry dan distribusi ritel. Yang luar biasa darinya adalah di bidang industry, MCC berada di urutan ketujuh teratas Spanyol. Sejumlah 78.455 karyawannya, 80 % nya telah menjadi anggota kooperasi. Global 300 (di tahun 2005), satu penilaian ICA (international cooperative alliance), menempatkan MCC di peringkat ke simbilan dengan “turn over” usahnya sejumlah USD 14.040 juta, serta memiliki asset USD 27.204 juta. Hebat kan…

Yang membuat decak kagum adalah anggota (yang merupakan karyawan) MCC merupakan pemilik sekaligus pekerja di perusahaan tersebut. Dalam konteks itu, anggota (yang merupakan pememilknya) diberi ruang lebar untuk mengembangkan potensi guna menjadi professional. Karena itu, umumnya gaji manager atau CEO nya tidak lebih 9:1. Artinya honor manager tidak lebih banyak 9 kali dari gaji staf terendah. Ini berbeda dengan pengelolaan managemen di Multinasional Coorporation (MNC) di Amerika Serikat misalnya, yang memberikan gajih besar kepada managernya, yaitu sebesar 400:1. Hebat dan luar biasa “jomplang” nya kan…

Perbedaan mencolok antara honor CEO di kooperasi dan MNC, amat wajar, kata ahli managemen kooperasi. Karena bila ditelisik, “gaya” kepemimpinan kooperasi adalah “kebersamaan” (kooperasi). Dimana anggotanya merupakan pemilik yang diwakilkan kepada pengurus, dan merupakan “pengelola” sejatinya. Sang manager hanya berperan sebagai “fasilitator”, atau “arranger”, atau “konduktor”, yang menampung semua ide anggota dan pengurusnya – terutama di event RAT (rapat anggota tahunan). Semua masalah ditanggung kolektif. Di sinilah letak pentingnya pendidikan anggota. Jadi, menjadi anggota kooperasi, bersiap untuk pintar dan “berdaya”. Pendidikan, keswadayaan, solidaritas, inovasi, dan demokratis merupakan 5 pilar kooperasi. Tidak berat kan, jadi manager kooperasi. Bahkan, anggota dituntut cerdas. Enak bukan…

Berbeda dengan manager di perusahaan model PT atau CV. Mereka dituntut mengerti sebagai orang “cerdas” dan paham segalanya. Keputusanya selalu dinanti bawahan dan bagian perusahaan, serta pemiliknya. Singel fighter, istilah yang pas dengannya. Keputusannya juga top-down.

Praktek menarik perusahaan model kooperasi di Indonesia ialah ACE Hardware. Perusahaan pejual perabot rumah tangga di negeri Amerika Serikta (sebagai asalnya) adalah berwajah koperasi. Awalnya perusahaan perabot ini didirikan Richard Hesse, E. Gunnard Lindquist, Frank Burke, dan Oscar Fisher, tahun 1942, bermarkas di kota Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Namun setelah salah satu pendirinya, Hesse pensiun tahun 1973, ACE dijual kepada retailer dan menjadi koperasi. Kini, pemiliknya adalah buruh pekerja yang mengerjakan perkakasnya. Namun karena ada aturan pemerintah RI bahwa perusahaan asing yang hadir di Indonesia berbentuk PMA (penanaman modal asing) dan badan hukum PT. Meski begitu, dalam operasionalnya, ACE Hardware menerapkan prinsip kooperasi. Yaitu misalnya, ia menekankan “membership” atau keanggotaan kepada pelanggan. Bagi konsumen yang mendaftar menjadi “anggota” (member), maka mendapat kemudahan, seperti diskon atau benefit lainnya. Prinsip pemberian benefit bagi anggota, merupakan sebagian kecil prinsip kooperasi. 

Koperasi: “Sokoguru” atau “Sokolidi”? 

Bagaimana kooperasi di Indonesia? Banyak tulisan yang mengulasnya. Pakar koperasi, aktifis gerakan, dan pelaku kooperasi sering membicarakanya. Ujung informasinya adalah “kegeraman” dengan kondisi kooperasi di Indonesia. Namun guna nyambung dengan paragraph berikut, penulis mengulasnya.

Dalam jumlah unit koperasi, bangsa Indonesia patut bersyukur, karena jumlah koperasinya terbanyak di dunia. Bahkan – bila dihitung-hitung --  rata-rata di setiap desa ada tiga koperasi. Bahkan FEB UI menaksir jumlah koperasi di Indonesia mencapai 209.488 (data tahun 2014). Hebat bukan. Tapi tunggu dulu. Jangan gembira berlebihan. 

Faktanya, besarnya jumlah tidak menggambarkan kualitas, dimana sebagian sudah tidak beroperasi. Dari jumlah tersebut, hanya 80.000 yang melakukan RAT (atau sebesar 38,2%). Nah loh!. Sayangnya juga, kondisi tersebut dibiarkan pengendali kebijakan negri. Peraturan Pemerintah No.17/1994 menyebutkan dengan jelas bahwa pembubaran koperasi dimungkinkan bila sudah 2 tahun tidak menyelenggarakan RAT. Dalam hal ini, pemerintah berdiam diri. 

Lebih jauh, ternyata volume usaha koperasi hanya Rp190 triliun, atau 1,9% dari PDB. Atau bisa dikatakan rata-rata volume usaha setiap koperasi menghasilkan hanya Rp 900 juta setiap tahunnya. Dengan mudah, bisa kita katakan bahwa ini tergolong kecil dari jumlah unit usaha UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) di Indonesia. Total anggota koperasi pun diperkirakan mencapai 36,4 juta orang, atau 30% dari jumlah keseluruhan angkatan kerja Indonesia.

Sementara dari sisi modalnya, ada 12.000 koperasi simpan pinjam (model KSP) atau koperasi jasa keuangan syariah (KJKS), dan 98.000 untuk simpan pinjam atau unit jasa keuangan syariah (UJKS), memiliki asset sekitar Rp 87,27 trilyun atau 1,5 % dari total asset 119 bank umum yang memiliki Rp 5,600 trilyun (data Desember 2014). Berbeda jauh kan dengan asset koperasi di Perancis, Denmark, Belanda, Swedia, dsb (seperti disebut diatas). Miris bukan ? Kayaknya jargon keperasi perlu dirubah. Bukan lagi ia menjadi soko guru perokonomian Indonesia. Namun “Soko lidi” (istilah Nining I. Susilo, Kompas, 2016). Yang rapuh, gampang patah, dan rusak, dsb.

Itu baru dari sisi jumlah permodalan. Bagaimana dengan factor lainnya ? Paling tidak minimal 3 hal akut yang “menggelayuti” staganasi koperasi. Pertama, terkait dengan “political literacy”. Umumnya koperasi di Indonesia abai terhadap pendidikan anggota. Anggota dibiarkan dengan ketidaktahuan dan “kebodohannya”. Mereka tidak memiliki “sistem pembelajaran” yang sistematis anggota. Bertahun-tahun seseorang menjadi pengurus. Kaderisasi mandek. Hanya sedikit koperasi yang concern pendidikan anggota. 

Kedua, tidak efektifnya peraturan koperasi. Geopolitik Indonesia yang cenderung “mementingkan diri, kelompok, dan golongannya” turut mempengaruhi regulasi koperasi. Beberapa menteri koperasi – dalam sejarah – berhasrat mengubahnya melalui UU koperasi. Alasan koalisi masyarakat sipil untuk Demokratisasi ekonomi yang pernah mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Koperasi No 17 Tahun 2012, Mei 2013, layak disimak. Diantaranya; undang undang  menyediakan campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar terasa kental. Padahal tujuan didirikannya koperasi adalah untuk mensejahterakan anggota. Sementara di pasal lain (75), juga tidak memihak koperasi. Yaitu bahwa pihak luar boleh sebagai pemilik modal koperasi. Hal itu jelas mengancam kemandirian koperasi dan menjadikan anggota sebagai objek pinjaman pemilik modal besar. 

Ketiga, sejarah koperasi di Indonesia didirikan dari atas (top down), selalu menjadi bayangan. Sejarah pendirian masal KUD (koperasi unit desa) oleh pemerintah orde baru merupakan contoh kongkrit. Kala itu, masyarakat -- siap atau tidak siapa -- “diberi” modal untuk pendirian koperasi. Koperasi seolah didirikan untuk “menampung” dana bantuan luar anggota dan kelembagaanya. Pemerintah setelah orde baru pun – sedikit banyak – menerapkan model bantuan modal kepada kooperasi. “Keberdayaan” anggota koperasi yang menjadi ciri dan pilarnya dinihilkan negara. Padahal di CU (credit union) dan di induk koperasi kredit, serta koperasi baik lainnya, di tahun awal pendiriannya, biasanya “menggojlok” anggota dengan pemupukan modal dari dalam. 

Ketimpangan dan Peran Koperasi 

Ketimpangan di Indonesia mengawatirkan. Pakar dan ilmuwan ternama sudah memperingatkannya.

Koefisien Gini merupakan indikator umum ketimpangan pendapatan yang sering digunakan. Yaitu, sejauh mana distribusi pendapatan kalangan rumah tangga mengalami penyimpangan dari penyebaran distribusi yang merata. Angka 0 dalam ukuran koefisien Gini menunjukan kesetaraan yang paripurna. Sementara nilai sebesar 1, menandakan adanya ketimpangan yang sempurna pula. Dalam hal itu, kondisi Indonesia makin hari -- pelan namun pasti -- memperihatinkan. Dari tahun 1990 hingga tahun 2013, angka koefisien Gini meningkat tajam dari 0,33 menjadi 0,41. Indikator ketimpangan ini merupakan prestasi tertinggi yang pernah ditorehkan Indonesia dalam sejarahnya. Hebatkan...

Parahnya, di daerah perkotaan lebih mengkhawatirkan angkanya. Tercatat angka koefisien gini perkotaan Indonesia mencapai angka 0,43 pada tahun 2012. Bahkan perkoataan di pulau Jawa lebih mengerikan. Yaitu angkanya bertengger di 0,44 di tahun 2011, meski di tahun selanjutnya angka itu terkoreksi dengan laju penurunan menjadi 0,43. Yusuf Anshori, ekonom Universitas Padjajaran, berani memperkirakan, bahwa terutama menurut daerah, tingkat ketimpangan saat ini dengan menggunakan pengukuran koefisien Gini, memperlihatkan lebih buruk dari yang diperkirakan (Yusuf Anshori, 2013).

Menurut kajian, kondisi ketimpangan Indonesia terjadi karena dua factor penting. Yaitu kebijakan ekonomi (atau dalam bahasa umum adalah landasan dan idiologi ekonomi) Negara, dan factor institusional. Dari sisi kebijakan ekonomi, politik kebijakannya mendorong inisiatif berbagai bidang ke arah korporasi. Padahal inisiatif berekonomi manusia terafisilasi dengan bebagai model. Dalam UU BUMN tahun 2003, terkesan ada upaya untuk merombak badan hukum  koperasi misalnya menjadi persero. Kondisi itu ditambah dengan kegagalan transformasi structural. Sementara itu, aroma institusi yang biasa korup dan didominasi oligarki kekuasan memperparah buruknya ketimpangan di Indonesia. 

Tingginya gini rasio menimbulkan kekhatiran banyak kalangan. Bahkan tidak terutup kemungkinan hal itu akan menjadi bibit “revoluasi social” di kalangan masyarakat. Apalagi pada 2030 akan terjadi bonus demografi, 70% dari jumlah penduduk adalah anak muda. Hal itu sudah terjadi di negara Swedia, yang terkenal dengan kemakmuran dan stabilitas politiknya. Tepat tanggal 27 Mei 2013, diberitakan kerusuhan di negara Skandinavia itu. Kerusuhan terjadi karena ketimpangan sosial dan ekonomi, antara masyarakat imigran dan penduduk asli. Ekonomi warga imigran lebih baik dari rakyat lokal. Meski di negara makmur, ketimpangan selalu menyimpan “bara” yang siap meledak setiap waktu. Sejumlah kerusuhan di Indonesia, sedikit atau banyak, memilki keserupaan kondisi dimana ketimpangan menjadi salah satu sebabnya.

Ketimpangan tidak saja di Indonesia. Masyarakat global mengalaminya. Menurut taksiran kasar, ada sekitar 32 juta manusia yang memiliki kekayaan di atas 1 juta $ US. Bila kekayaan para manusia super kaya itu dikumpulkan, maka mereka memiliki 41 % dari jumlah kekayaan global. Sementara ada sekitar 3,2 milyar penduduk dunia yang memiliki kekayaan dibawah 10.000 $. Hadeh..

Berdasar itu, dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau biasa dikenal SDGs (Sustainability Development Goals) problem ketimpangan dunia mendapat perhatian serius. Dalam tujuan SDGs ke 10 disebutkan, “mengurangi ketimpangan di dalam negri dan antar negara”. Di pasal turuan dari tujuan 10, disebutkan bahwa “Pada tahun 2030, memberdayakan dan mendorong penyertaan sosial, ekonomi dan politik bagi semua, tanpa memandang usia, jenis kelamin, penyandang disabilitas, suku bangsa, kelompok etnis, asal, agama, status ekonomi atau status lainnya”. Pertanyaan nya, kenapa ekonomi model kooperasi, tidak menjadi perbicangan di diskusi SDGs?

Semua orang bertanya, bisakah kooperasi mampu mengurai ketimpangan? Bagi pelaku koperasi yang “benar” – yang berdasar nilai, prinsip, pilarnya – berkeyakinan 100% bisa, bahkan dianjurkan. Bila pembaca tidak percaya, berkacalah terhadap negara-negara dimana kooperasinya menjadi model kegiatan ekonominya, dan cek bagaimana angka gini rasionya. Salah satu negara di mana kooperasinya kuat adalah Perancis. Di Negara yang baru-baru ini menjadi tuan rumah Piala Eropa sepak bola, omset gabungan dari 48 kooperasi terbesar bila dijumlahkan setara dengan 17% dari nilai PDB negara. Dari sini, ternyata indek koefisien gini Perancis sekitar 0.3. Rendah kan.. Begitupula di negara-negara dimana kontribusi kooperasi makin nyata, pasti berdampak kepada tingkat ketimpangannya.

Oleh karena itu, tunggu apa lagi Indonesia. Bila ingin menurunkan angka ketimpangan, tengok dan praktekkan koperasi dengan benar, konsisten, dan sepenuh hati.


Oleh: M. Firdaus, Deputi Sekretaris Eksekutif ASPPUK
Sumber: nyambi-traveller.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar