Mas Ismail, aktivis Tuli dari Solo yang bekerja di Sasana
Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel - SIGAB Indonesia sedang membaca
naskah disertasiku, di ruang pustaka Sigab. Saat aku melewatinya, ia
sedang membolak-balik lembar demi lembar. Secara cepat seperti mencari
suatu kalimat penting. Aku membiarkannya.
Begitu aku kembali, ia memberi isyarat agar aku mendekat.
Ia mulai bicara. Ia bilang, “apakah ada cerita soal diskriminasi Tuli di
sini,” ia menunjuk ke naskah tebal itu. Ismail bisa bicara, walaupun
terkadang (sedikit saja) ada kata atau kalimat yang ia sebut kurang aku
pahami. Tapi aku bisa memintanya mengulanginya. Beberapa kali tak apa.
Jika tetap belum jelas.
Aku bilang, “ada”.
Aku menulis sedikit mengenai protes Tuli atas
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di ruang publik. Ia lalu menyebut
kata “audism” yang dengan yakin, kuyakini jika yang ia maksud sebut
adalah kata ‘autism’.
Kupikir Mas Ismail memang bertanya soal Autism. Lalu
kubilang ada kutulis tapi sangat sedikit. Aku menyebut lembaga bernama
MPATI.
"Tidak!" katanya tegas.
Aku menyerahkan Hpku agar ia tulis ‘kata’ itu di mesin pencari google. Rupanya ia menulis kata audism.
Aku menyerahkan Hpku agar ia tulis ‘kata’ itu di mesin pencari google. Rupanya ia menulis kata audism.
“O audism," ucapku dengan ekspresi mengangguk-angguk.
Aku bilang, "tidak," Aku tidak mengetahui arti kata itu.
Lalu Ismail mulai memperkenalkan apa istilah itu. Saya berupaya memahami ucapan-ucapannya. Intinya, audism adalah sebentuk perlakuan negatif terhadap Tuli.
Penasaran, akupun mulai mencari tau arti audism dalam mesin pencari google. Aku membuka beberapa laman.
Aku bilang, "tidak," Aku tidak mengetahui arti kata itu.
Lalu Ismail mulai memperkenalkan apa istilah itu. Saya berupaya memahami ucapan-ucapannya. Intinya, audism adalah sebentuk perlakuan negatif terhadap Tuli.
Penasaran, akupun mulai mencari tau arti audism dalam mesin pencari google. Aku membuka beberapa laman.
Di wikipedia, kutemukan istilah ini. Audisme adalah
seperangkat keyakinan yang meliputi: 'Orang Dengar' lebih superiror dari
pada 'Orang Tuli' (Deaf) atau kesulitan mendengar (Hard of Hearing);
Orang Dengar mengasihani Tuli karena prasangka bahwa Tuli memiliki
kehidupan yang sia-sia dan menyedihkan; Tuli harus menjadi seperti Orang
Dengar semirip mungkin, dan bila perlu menghindari Berbahasa Isyarat.
Orang yang memulai penggunaan istilah audism ini adalah Tom
L. Humphries dalam disertasi doktoralnya pada 1975, tetapi baru
populer saat Harlan Lane menggunakannya dalam tulisannya. Humphries
awalnya menerapkan audisme pada sikap dan praktik individu; sedangkan
Lane memperluas istilah untuk memasukkan sebagai bentuk penindasan
Orang-orang dengar terhadap Tuli.
Watak audisme pada diri Orang Dengar sudah menubuh dalam
dirinya. Ia berpikir dan bertindak tanpa menyadarinya lagi sebagai
perilaku Audis. Ada banyak contoh. Polisi yang mempersulit Tuli
mendapatkan SIM. Orang-orang yang menganggap Tuli tak bisa berkendara,
membaca maupun menulis, orang tua yang punya anak Tuli tapi melarangnya
belajar bahasa isyarat dan memaksanya untuk bisa bicara (dengan beragam
terapi wicara, bahkan mencangkokkan Cochlear Implant agar bisa
mendengar) dan membaca bibir, atau orang-orang yang sengaja berteriak
memanggil teman Tulinya, padahal ia sudah tahu temannya Tuli, atau Orang
Dengar yang berbicara dengan Tuli dengan gerak bibir dan mulut
semonyong mungkin, hanya agar Tuli berdasarkan prasangka picik atau
ketidaktahuannya akan Budaya Tuli bisa mengertinya. Dikiranya semakin
monyong Tuli akan paham, padahal bicara sewajarnya, seorang Tuli dapat
memahaminya dengan baik. Mulut monyong malah membuat Tuli berkerut dan
jengkel.
Perilaku Audist dengan demikian telah membatasi Tuli
mengembangkan budayanya sediri. Komunitas Tuli sungguh bermartabat.
Mereka pun secara alamiah bisa membuat bahasanya sendiri—sebagaimana
pertumbuhan bahasa verbal. Kini kita mengenal sejumlah bahasa isyarat,
ada Bisindo—dengan beragam varian daerahnya, ada pula SIBI.
Tapi SIBI merupakan produk Orang Dengar. Rumit menggunakannya, kata beberapa Teman Tuli. Itu karena kamus SIBI tidak sepenuhnya berisi kata dari Tuli. Ada saja campur tangan Orang Dengar.
Tapi SIBI merupakan produk Orang Dengar. Rumit menggunakannya, kata beberapa Teman Tuli. Itu karena kamus SIBI tidak sepenuhnya berisi kata dari Tuli. Ada saja campur tangan Orang Dengar.
Budaya verbal tetap masuk dalam sistem isyarat Tuli. Bahasa
Isyarat adalah bagian dari kebudayaan Tuli. Untuk itu, anak yang lahir
Tuli—setelah uji medik diputuskan Tuli, harus segera memulai mendapatkan
hak-haknya, sebagaimana Orang Dengar setiap hari mengobrol dengan
anak-anaknya sampai akhirnya anak-anak ini karena meniru setiap ucapan
akhirnya mampu berbahasa verbal.
Tentang SIBI, ada ceritanya. Saya menulis beberapa paragraf dalam disertasi ini dengan sumber data dari tulisan Amex Thohari. SIBI ada kaitannya dengan praktik pemisahan difabel
bersekolah. Anak-anak difabel harusnya hanya bersekolah di SLB. Begitu
aturan negara dengan jahat memisahkan orang berdasarkan perbedaan
tubuhnya. Serupa kaum kolonial memisahkan orang berdasarkan ras atau
etnisnya. Ras kulit putih, ras asing, dan inlander (pribumi). SLB
memisah anak-anak sekolah berdasarkan A, B, C, D dan E. Tuli bersekolah
di SLB B.
Pada tahun 1980-an, isu memperjuangkan kepentingan Tuli
muncul. Mereka menentang kaum Audist dari kalangan guru dan birokrat
yang ingin menerapkan Sistem KOMTAL alias 'Komunikasi Total ' dan Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) diberlakukan di sekolah-sekolah luar
biasa untuk Tuli (disebut juga tunarungu).
Komunikasi Total adalah suatu sistem komunikasi bagi Tuli
yang memanfaatkan segala media komunikasi pada saat pengajaran seperti
saat menulis, membaca, mendengar, dan membaca ujaran dengan memanfaatkan
kemampuan dengar yang dimiliki Tuli. Termasuk juga menggunakan isyarat
alamiah mereka, abjad jari serta isyarat-isyarat yang telah dibakukan
menjadi pendekatan KOMTAL-SIBI.
Komunikasi total bertujuan menciptakan komunikasi efektif
sesama Tuli maupun dengan masyarakat yang menggunakan media mendengar,
membaca bibir, berbicara maupun dengan berisyarat. Penerapan komunikasi
total sudah dimulai sejak 1978 di SLB-B Zinna di Jakarta dan 1981 oleh
SLB-B karya (Mulya Kurnia, Damaiati R.; Slamet, Thohari, 2016). Kamus SIBI memiliki aturan linguistik yang sama sekali
berbeda dengan aturan linguistik bahasa isyarat yang standar. Kamus SIBI
sengaja dibuat oleh orang-orang ‘mendengar’ untuk ‘membantu’ komunitas
tuli agar bisa menjadi ‘normal’. Kamus SIBI memiliki isyarat yang
berbeda dengan bahasa isyarat yang dimiliki oleh komunitas Tuli. Inilah
contoh ketika kaum Audist menguasai sekolah dan memaksakan kehendaknya
terhadap penganut Budaya Tuli.
Dalam Convention on the Rights of The Child, Article 30:
“ …. right to enjoy his or her own culture, ….., or to use his or her own language.”
Pengertian … his or her own language" adalah BISINDO dan bukan SIBI.
Bagi Aktivis Gerakan Tuli Indonesia, penggunaan KOMTAL–SIBI
sama dengan merampas hak mereka! KOMTAL atau SIBI telah membunuh
hak-hak komunitas Tuli mendapatkan hak linguistik berdasarkan budaya
mereka sendiri. Protes pemberlakuan KOMTAL SIBI dan SIBI menguat lagi
pada 2005 dan sampai sekarang ini protes Gerakan Tuli masih berlangsung
bahkan semakin kencang menjangkau banyak aspek. Salah satunya pentingnya
memasukkan Bahasa Isyarat Bisindo ke dalam kurikulum sekolah dan
menjadikan Juru Bahasa Isyarat sebagai suatu profesi yang dikategorikan
sebagai pekerjaan profesional.
Tapi rupanya perilaku audist bisa juga ada di dalam
komunitas Tuli sendiri. Mereka, baik Tuli maupun HoH yang menolak
berbahasa isyarat adalah salah satu yang berpikir audist itu. Ketakutan
tidak bisa beradaptasi dalam mayoritas orang berucap atau bercakap
secara verbal membuatnya benar-benar tunduk pada cara pandang
kenormalan.
Dalam temuan-temuan atau teknologi berbasis suara atau
bunyi seperti bel, lonceng, dan seterusnya merupakan contoh teknologi
berwatak audist. Abraham Graham Bell, penemu telepon adalah ilmuwan
audist. Temuan telepon itu adalah rangkaian dari upayanya menciptakan
perangkat komunikasi agar Tuli berbicara dan tidak berisyarat.
Jika para desainer sudah bebas dari perilaku audist ini,
maka setiap karyanya, selain berbasis suara akan berbasis cahaya atau
hal lain yang memungkinkan kaum Tuli tidak terdikriminasi jika segalanya
hanya berbasis suara. Kini, di film-film yang kita tonton selain ada
subtitle juga dikenal close-caption. Jika dulu suara kentut atau suara
lolongan anjing tidak ada keterangan teksnya, maka kini sudah tersedia.
Itu masukan dari Tuli kepada pembuat film. Ada banyak kemudahan kita
nikmati dari temuan-temuan semacam ini.
Any way, terima kasih mas Mail atas diskusi singkatnya dan menanyakan apakah audism disinggung atau tidak dalam naskahku atau tidak.
Any way, terima kasih mas Mail atas diskusi singkatnya dan menanyakan apakah audism disinggung atau tidak dalam naskahku atau tidak.
"Saya akan masukkan mengenai audism, Mas!" Saya menyalaminya sebagai ucap terima kasih.
Tulisan ini semoga bisa membuat kita bisa saling respek
satu sama lain, Orang Dengar - Orang Tuli. Memang sulit untuk bisa
membuat relasi antar personal atau antar kelompok senyaman yang kita
semua impikan dalam bermasyarakat, tetapi kita bisa memulainya.
Jadi, Apakah kita bisa menghindari sikap Audist?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar