Selasa, 04 Oktober 2016

Ekonomi Kreatif Desa

Ekonomi kreatif adalah ekonomi masa depan yang bertumpu pada daya kreasi manusia. Ekonomi kreatif pada hakikatnya adalah kegiatan ekonomi yang mengutamakan pada kreativitas berpikir 'thinking new things', yaitu berpikir sesuatu yang baru. Manifestasinya sangat banyak, seperti berpikir tentang cara baru, model baru, desain baru, pemasaran baru, usaha baru, distribusi baru, strategi baru, dan lain sebagainya.

Menurut data Departemen Perdagangan dan Perindustrian ekonomi kreatif menyumbang sekitar 11,75% dari PDB Indonesia pada tahun 2013. Sektor ini banyak disumbang oleh UKM sekitar 22,8%. Padahal jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta dengan sumbangan 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menampung 97% tenaga kerja. Artinya masih ada UKM yang belum masuk ke Industri kreatif sekitar 80% an lagi.

Salah satu model dasar  yang digunakan dalam memotret dan memproyeksikan ekonomi kreatif adalah model New England’s creative economy. Terdapat tiga komponen inti dan tiga komponen pendukung dalam ekonomi kreatif di daerah, yaitu:
  1. The Creative Cluster, yaitu perusahaan dan individu yang menghasilkan secara langsung maupun tidak langsung produk kreatif.
  2. The Creative Workforce, yaitu pemikir dan pelaksana yang dilatih secara khusus dalam keterampilan kreatif dan artistik yang mendorong kepemimpinan industri yang tidak hanya terbatas pada barang dan jasa.
  3. The Creative Community, yaitu area geografis dengan konsentrasi dari pekerjaan kreatif, bisnis kreatif, dan organisasi kreatif.

Bila kita proyeksikan ke desa. Maka setiap domain dari kegiatan ekonomi desa saling berhubungan dimana Creative Cluster merujuk pada pengertian industri di desa, baik komersial maupun non-profit. Creatif workforce adalah pekerjaan yang dapat dihasilkan desa, dan Creative Community adalah wilayah desa dimana Creative Cluster berada.

Seandainya UKM berbasis pedesaan dapat melakukan konvergensi dengan BUMDes dapat ikut  menumbuhkan ekonomi kreatif di pedesaan yang memberikan multiplier effect cukup besar terhadap ekonomi daerah ditinjau dari : potensi pasar, potensi ekonomi, potensi untuk sukses, dan dampak terhadap rakyat miskin dan tentu saja dapat menciptakan kemandirian ekonomi mayarakat desa. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan ekonomi kreatif di pedesaan.

Gerakan “Satu Desa Satu Produk”

Dalam konteks ekonomi yang berbasis pedesaan, salah satu gerakan ekonomi kreatif adalah gerakan ‘satu desa satu produk’ atau one village one product (OVOP). Gerakan OVOP telah menarik perhatian dari daerah yang berpenghasilan rendah yang tidak dapat menarik industri teknologi tinggi dan juga dari orang-orang yang bekerja di bidang pengentasan kemiskinan dan masalah sosial. Gerakan ini merekomendasikan penduduk yang tinggal di daerah-daerah tersebut untuk menggunakan sumber daya lokal yang diproses dan dikemas sedemikian rupa agar bisa dibawa dan bersaing di pasar.

Penduduk setempat dipupuk untuk mempunyai kesadaran atas potensi mereka sendiri dan sumber daya yang ada di wilayah mereka diakui sebagai kekayaan lokal. Kontinuitas menjadi sumber kekuatan utama untuk menjadikan produk-produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah tinggi disertai dengan adanya jaminan atas penjualan dan pengembangan sumber daya manusia.

Jika diperhatikan secara seksama gagasan program OVOP akan berhasil apabila masyarakat dan pemerintah memiliki visi yang sama tentang potensi lokal yang berbasis budaya. Produk-produk anyaman pandan di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah sebenarnya termasuk dalam gagasan dasar Morihiko Hiramatsu yaitu Local Yet Global. Banyak vendor yang berkiprah dalam bisnis produk-produk tersebut dengan cara mengambil bahan setengah jadi dan produk ¾ jadi dari perajin Desa Grenggeng dan sekitarnya.

Konsep OVOP dan Ekonomi Kreatif menempatkan pembangunan dan pengembangan SDM sebagai faktor penting. Sasaran yang dituju OVOP adalah produk lokal yang berorientasi global dengan pendekatan komunal. Sementara itu, ekonomi kreatif menggunakan pendekatan individual. OVOP mengedepankan nilai tambah atas produk yang sudah ada smentara ekonomi kreatif melakukan pembaruan atas produk atau jasa yang telah ada atau justru menghadirkan produk dan jasa yang benar-benar baru dalam suatu proses inovatif. Perbedaan keduanya bisa dijembatani dengan kebijakan politik pemerintah yang kondusif. Tumpang tindih dan 'perebutan wewenang' menangani kedua potensi kreatif masyarakat justru akan mematikan jalan menuju Indonesia sejahtera, adil dan makmur.

Potensi ini pula yang tengah dibidik Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), yang sedang berupaya menumbuhkan desa-desa yang bisa menjadi pelopor dalam ekonomi kreatif. Semoga.


Sumber: www.berdesa.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar