Ada malam ketika aku mendadak sendu alias seneng ndusel pada istri. Dan hanya Allah, istri dan aku tentu saja yang mengerti apa maksudnya.
Seperti beberapa hari yang lalu, misalnya. Setiap istri
jalan ke dapur, aku ikuti. Dia ke ruang tamu aku pepetin. Hingga
akhirnya dia ngerasa risih tatkala aku menjajari langkahnya untuk ke
sekian kali.
“Ih, ini apa-apan, sih? Nempel terus. Pergi nggak?” Istri mengangkat gayung.
Ya sodara. Saat itu aku ngikutin istri yang mau ada urusan pribadi di kamar mandi.
Aku nyengir. Balik kanan dan duduk di depan tivi ruang tamu.
Ketika istri kembali ke ruang tamu, aku menatap dia lagi. Sambil senyum lagi.
“Apa?” gitu respon dia. Sambil manyun.
“Jangan galak-galak napa. Kan jadi atut akunya.”
“Biarin. Apa?”
“Hihi.”
“Malah nyengir. Ada apa?”
Aku jawab, “Anak-anak kan udah bobo tuh.”
“Hemm,” istri mulai menatapku curiga. “Mulai, nih. Mau bikin rusuh pasti.”
“Hihi.”
Entah kenapa di saat-saat seperti ini, aku lebih sering cengar-cengir gak jelas.
Lalu istri tiba-tiba bilang, “Eh, Bang. Tadi loh aku lihat di fb. Rame banget bahas 80 juta itu.”
Keningku berkerut, “Maksudnya?”
Aku menanggapi, “Ada yang nulis gitu?”
Istri mengangguk. “Iya. Malah ada yang posting, ‘Sama-sama
perempuan. Yang satu bisa deal 80 juta semalam. Tapi satunya lagi
mau-maunya cuma dikasih seperangkat alat sholat. Jadi yang murahan itu
siapa? Kan aku kesindir, Bang. Dulu Abang nikahin aku kan ngasih
seperangkat alat sholat.”
Aku jawab, “Neng, sebenarnya dulu itu aku pingin ngasih
mahar kamu seperangkat alat sholat lengkap beserta alat wudhunya juga.
Tapi ya masak di depan penghulu aku nyerahin kran sama air seember ke
kamu?”
Istri memukul pundakku, “Aku serius. Bercanda aja Abang, mah.”
“Hehehe,” aku nyengir. “Gini, Neng. Aku rasa yang nulis itu
belum paham agama. Tidak bisa membedakan mana haram mana halal. Ya
udah, kita doakan saja moga dapat hidayah. Tapi yang jelas begini.
Bedakan antara value dengan price.”
"Maksudnya gimana itu, Bang?"
Kemudian aku jelaskan pada istri, bahwa value tidak bisa
dibandingkan dengan price. Nilai tidak bisa disejajarkan dengan harga.
Dua poin itu adalah hal yang sama sekali berbeda.
Contoh, ada orang baru saja beli mobil Jaguar seharga 1,5
M. Lalu beberapa waktu kemudian, anaknya sakit parah. Dibawa ke rumah
sakit. Dokter menyarakankan anaknya dioperasi agar nyawanya selamat.
Hanya saja operasi itu mencapai 1,5 Milyar rupiah. Apa yang dilakukan si
ayah pertama kali? Tanpa pikir panjang, dia langsung menjual mobil
baru. Lihat, price mobil itu memang 1,5 Milyar. Mahal. Tapi jika
dibandingkan dengan sang buah hati, yang proses membuatnya saja cuma
pakai akad nikah murah plus doa junub, mobil mewah itu gak ada nilainya.
Begitu pula dengan pelaku seks komersial. Dia memang punya
harga, tapi maaf dia tak punya nilai. Ia hanya dijadikan sebagai pemuas
nafsu laki-laki bejat. Mirip orang-orang jahiliyah dulu. Tak ada cinta
di sana. Tak ada kasih sayang. Hanya nafsu semata. Setelah acara malam
ini kelar, pulang ke rumah dan urus diri masing-masing. Tak ada tanggung
jawab.
Memutuskan menjadi seorang penjaja kehormatan, artinya
harus siap menerima konsekuensi, di masyarakat ia terhina, di hadapan
Allah dapat murka. Semewah apa pun kehidupannya, sebagus apa pun
kendaraannya, ia takkan mendapat hormat dari masyarakat. Sebab dia
sendirilah yang menjual habis kehormatannya.
Berbeda dengan seorang istri. Benar dia jadi juru masak,
momong anak, nyuciin baju, menyiapkan segala urusan rumah tangga.
Padahal waktu akad nikah cuma dikasih mahar seperangkat alat sholat.
Murah banget. Tapi murah belum tentu murahan. Dalam pernikahan, ada
cinta di sana. Ada kesetian. Ada rasa kasih sayang. Suami bertanggung
jawab penuh atasnya. Di pandangan masyarakat dia mulia. Orang-orang
menaruh hormat padanya, sebagaimana ia menjaga kehormatan diri dan
keluarga kecilnya. Anak yang ia lahirkan bisa terhindar dari bully
kejam, ‘Anak Haram’. Dan respek seperti itu tidak bisa dibeli dengan
uang.
Itulah sebabnya, mengapa Allah mengharamkan zina dan
memberkahi pernikahan. Sebab, Allah ingin menunjukkan bahwa manusia
berbeda dengan hewan. Maka diberilah aturan. Jika sekali bersenggama,
terus ditinggalkan, apa bedanya kita dengan kucing? Dari pernikahan,
Allah seperti sengaja ingin menunjukkan bahwa wanita itu mulia. Ia harus
dijaga dengan kasih sayang, kesetiaan dan transferan.
Ketika masa jahiliyah menjadikan perempuan hanya sebagai
pemuas nafsu, Rasulullah hadir dengan penuh pemuliaan terhadap Khadijah.
25 tahun menikah tak sekali pun Bunda Khadijah dipoligami. Cinta
Rasulullah utuh untuk sang kekasih. Ketika perempuan dipandang hina,
dikubur hidup-hidup saat baru lahir, Nabi Muhammad yang mulia malah
menggendong si mungil Siti Fatimah kesana kemari. Sambil tersenyum.
Penuh kebahagiaan.
Melalui Islam, Allah ingin memuliakan perempuan.
Dan perzinahan adalah perusak utama kemuliaan itu. Maka, ia
diharamkan. Siapa yang selalu dirugikan dari perzinahan itu selain
perempuan? Laki-laki mah tinggal pergi saja beres. Gak bakal ketahuan.
Yang kelihatan perutnya membesar siapa? Ya perempuan. Yang menanggung
malu ya perempuan.
Selain itu, pelaku harus siap dengan konsekuensi, bahwa
anak hasil perzinahan di masa depan tak boleh memakai ‘bin atau binti’
nama Ayahnya. Bila ia laki-laki, tak boleh menjadi wali nikah adiknya.
Ia juga tak berhak mendapatkan harta warisan orang tuanya. Bukankah ini
berarti sang orang tua sudah membunuh anaknya bahkan sebelum si buah
hati lahir?
“Oh, begitu,” ujar istri sesaat aku menyelesaikan penjelasan. “Alhamdulillah aku dulu dinikahi Abang.”
“Alhamdulillah.” Aku mengangguk.
“Aku ngantuk, Bang.” Istri mengucek matanya.
“Iya aku juga. Abis ngomong panjang kali lebar, aku jadi ngantuk.”
“Ya udah bobo dulu, Bang.”
“Oke.”
Akhirnya kami tidur di samping para bocah di kamar.
Dan saat terbangun di keesokan harinya, aku seketika sadar
kemarin malam telah melewatkan sesuatu yang sudah direncanakan
matang-matang. Tapi gagal. Gara-gara ngomongin 80 juta.
Nyesek.
****
Surabaya, 10 Januari 2019
Oleh: Fitrah Ilhami (Penulis)
Website: www.fitrahilhami.com
Facebook: www.facebook.com/fitrah.ilhami (sumber tulisan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar