Solider.id, Surakarta - Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.
Seperti halnya pemenuhan kebutuhan pendidikan pada umumnya, pemenuhan hak pendidikan bagi difabel juga memiliki kendala baik dari sisi regulasi, alokasi anggaran, infrastruktur yang tidak aksesibel, sumber daya pengajar dan dari keluarga sendiri. Kurangnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan bagi difabel juga memengaruhi partisipasi anak difabel untuk bersekolah. Orang tua memegang peranan penting dalam keberhasilan pendidikan anak-anaknya dengan mendampingi anak-anak dalam belajar sehingga anak-anak difabel tumbuh kepercayaan dirinya.
Tidak hanya keluarga yang mempunyai peranan penting tetapi masyarakat dan pemerintah juga wajib mendukung anak difabel untuk mendapatkan haknya di bidang pendidikan. Masih tingginya stigma difabel di masyarakat menyebabkan minimnya ruang untuk berkembang dan berpartisipasi. Keberadaan difabel di keluarga maupun masyarakat dianggap tidak mampu dalam melakukan apapun sehingga tidak dibutuhkan pendidikan baik formal maupun informal. Dari sisi stakeholder pun minim dalam memberikan dukungan terhadap difabel di bidang pendidikan, dikarenakan kurangnya pemahaman akan kebutuhan difabel.
Hal ini yang kemudian melatarbelakangi PPRBM Solo bersama dengan NLR Indonesia dan Liliane Fond melalui Program PADI (Prioritaskan Anak Disabilitas Indonesia) mengadakan kegiatan Workshop Welcome to School dan kampanye We Ring The Bell pada hari Rabu, tanggal 12 Oktober 2022 di Hotel Solia Surakarta. Kegiatan diikuti oleh pegiat isu pendidikan difabel, orangtua anak difabel yang tergabung dalam sanggar, tim advokasi difabel, SLB, kelompok difabel desa dan OPD terkait. Workshop diadakan selain sebagai sebagai upaya pemenuhan hak anak juga untuk memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan yang dihadapi oleh anak difabel. Karena kondisi yang ada menunjukkan difabel anak rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, yang berdampak pada marjinalisasi difabel dari sumber daya dan pembuatan keputusan (UNICEF, 2013) serta, dari lingkungan, keluarga, dan masyarakat (UNICEF dan WHO, 2012)
Dalam kenyataannya masih banyak anak difabel yang belum mendapatkan haknya secara penuh dalam mendapatkan pendidikan, yang dipengaruhi oleh :1. Belum terlibatnya secara penuh orang tua dalam pendidikan bagi anak yang disebabkan oleh para orangtua membagi waktu untuk mencari nafkah dan mengurus anak-anak mereka, 2. paradigma masyarakat yang kurang kondusif (cenderung menyepelekan atau melecehkan ABK, ABK tidak dipercaya atau dianggap tidak mampu untuk belajar), 3. sarana yang belum ramah difabel (Fasilitas dan sarana/prasarana pendidikan yang masih sulit diakses oleh siswa ABK, Tidak tersedianya atau terjaminnya alat bantu mobilitas yang sesuai dan terjangkau bagi ABK), 4. Masih banyak terjadi kekerasan yang menimpa difabel dalam ranah pendidikan baik dalam bentuk penolakan, kekerasan (fisik, psikis, seksual) dan diskriminasi, 5. Perlakuan diskriminatif dari pelaku pendidikan (sekolah, pengajar, Diknas dan yang sederajat), 6. Anak-anak difabel tidak bisa sekolah karena sekolah jauh, tidak punya biaya, kendala transportasi, tidak ada pendamping, atau ditolak oleh pihak sekolah.
Keberhasilan sejumlah kecil difabel dalam menyelesaikan pendidikan tinggi lebih dipengaruhi oleh kegigihan usaha individu tersebut dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, upaya advokasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi difabilitas, dan kebijaksanaan personal pejabat lembaga pendidikan tinggi tertentu.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa ada pengecualian dan pendidikan adalah wadah bagi setiap individu untuk berproses belajar dan mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada dalam diri setiap manusia. Setiap anak yang lahir di dunia siapapun dia, wajib untuk memeroleh pendidikan yang layak tanpa memandang berbagai kekurangan yang dimilikinya.
“Padahal jika mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan,” terang Istini Anggoro, manajer program di PPRBM Solo dalam workshop yang mendatangkan narasumber Iwan Setiyoko, Direktur YSKK. []
Reporter: Puji Astuti
Editor: Ajiwan Arief
Sumber: www.solider.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar