Masa depan media sosial (medsos) dengan segala efeknya belum jelas
arahnya. Medsos telah terlalu kuat mengatur di berbagai sendi kehidupan
kita. Tak sedikit pejabat lebih dekat jadi abdi medsos ketimbang abdi
negara.
Beberapa tahun yang lalu banyak kalangan menyarankan agar pemerintah menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik. Kini, harapan itu mulai menampakkan hasil, sejumlah pejabat lebih responsif. Namun belakangan ada efek samping, tekanan-tekanan di medsos membuat pengambil kebijakan gamang dan cenderung merespons isu-isu di media yang belum tentu penting dibandingkan berfokus menangani masalah aktual. Satu dekade penggunaan media sosial di dunia kepemerintahan. Kini kritik mulai bermunculan.
Rentetannya
menjadi panjang ketika media sosial (medsos) digunakan dalam politik
dan kepemerintahan. Tak sedikit pejabat yang kemudian memilih sibuk di
medsos karena, toh, atasannya juga sibuk di media ini. Mereka lebih
tekun memantau medsos dan merencanakan aksi di dunia maya dibandingkan
bekerja menangani masalah riil.
Siapa
lagi yang peduli dengan panen padi dan stok pangan? Siapa pula peduli
dengan masalah tuberkulosis? Siapa peduli dengan nasib bahasa daerah
yang beberapa di antaranya nyaris punah?
Masyarakat
dunia maya tak bisa dipersalahkan. Pejabat yang hanya menjadi sibuk
menangani tekanan-tekanan yang muncul di medsos mungkin yang perlu
disorot.
Sejauh mana masalah di medsos
merupakan masalah publik yang perlu dibahas dan ditangani. Sebaliknya,
sejauh mana mereka menangani masalah yang tidak terlihat seksi di
medsos, tetapi riil di masyarakat. Sangat boleh jadi masalah seperti ini
tidak tertangani.
Sekian lama gegap
gempita bermedia sosial kemudian melahirkan orang-orang yang oportunis.
Mereka ingin tampil di media tersebut dan agar dianggap bekerja oleh
atasannya. Seorang pejabat mengaku, ia pusing dengan kelakuan
rekan-rekan kerjanya karena sebuah isi rapat bisa bocor ke luar dengan
mudahnya.
Dugaannya, rekan-rekannya itu
berharap dianggap bekerja oleh atasannya. Jadi, bekerja atau tidak
patokannya adalah muncul di media sosial. Kebocoran sejumlah dokumen
negara di medsos terjadi karena beberapa orang ingin dianggap mengetahui
lebih dulu, ia ingin dianggap lebih peduli, dan mungkin agar dianggap
atasan dan juga publik telah bekerja dengan baik.
Satu
dekade penggunaan media sosial masif di kalangan pemerintah dan dunia
aktivisme di banyak negara. Niat awal penggunaan medsos adalah
mempermudah pemerintah mengetahui keinginan warganya dan juga warga
mudah menyampaikan pendapatnya ke pemerintah.
Sejumlah
lembaga kemudian membentuk departemen atau bagian yang mengurusi media
sosial. Mereka juga menggunakan kanal itu untuk membagikan informasi
publik ke khalayak sebagai bukti transparansi pemerintah. Akan tetapi,
belakangan masalah yang muncul adalah terlihat adanya abdi-abdi medsos.
Mereka lebih banyak mengabdi ke medsos.
Sejumlah pejabat senang dan asyik masyuk bermedia sosial untuk berbagai kepentingan. Dua hal yang jelas terlihat adalah media sosial memunculkan efek samping, yaitu sebagian masalah tak terurus dan juga melahirkan orang-orang oportunis hanya karena kepentingan sesaat. Bagaimana sebaiknya kita menangani perilaku seperti ini?
Selama
ini kita cenderung melihat masyarakat kebanyakanlah yang tidak mampu
menggunakan teknologi digital, salah satunya media sosial, secara benar
sehingga muncul kebutuhan literasi digital. Sepertinya, dengan melihat
kultur masyarakat yang masih mengandalkan patron, literasi digital lebih
tepat dialamatkan ke patron itu sendiri yaitu para pejabat, tokoh
masyarakat, eksekutif perusahaan, dan lainnya.
Penggunaan pelantang (buzzer) oleh elite menjadi contoh ternyata bukan masyarakat kebanyakan yang membajak kehadiran media sosial. Membuat dan membagikan kabar hoaks dipastikan awalnya bukan dilakukan orang yang bodoh atau terbelakang.
Penggunaan pelantang (buzzer) oleh elite menjadi contoh ternyata bukan masyarakat kebanyakan yang membajak kehadiran media sosial. Membuat dan membagikan kabar hoaks dipastikan awalnya bukan dilakukan orang yang bodoh atau terbelakang.
Beberapa
waktu yang lalu, kalangan ahli kesehatan jiwa mengingatkan soal
kecanduan media sosial. Para pemimpin perusahaan di bidang teknologi
telah mengambil inisiatif bahwa mereka juga ikut bertanggung jawab untuk
mengurangi kecanduan penggunaan medsos.
Mereka
mengatur notifikasi yang diduga menjadi salah satu penyebab kecanduan.
Akan tetapi, setidaknya kasus di Indonesia, tidak sedikit pejabat yang
kecanduan bermedsos. Bagaimana kita bisa menangani masalah ini?
Hingga
sekarang masa depan media sosial dengan segala efek sampingnya tak
diketahui secara persis arahnya. Perusahaan teknologi dan pengamat juga
mengakui hal itu. Media sosial telah terlalu kuat mengatur di hampir
berbagai sendi kehidupan kita, dari urusan gosip tidak penting sampai
penumbangan sebuah pemerintahan. Akibatnya, para pejabat pun lebih dekat
menjadi abdi medsos dibandingkan menjadi abdi negara yang bekerja
secara tuntas.
Oleh: Andreas Maryoto
Sumber: kompas.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar