Selasa, 25 Februari 2020

Abdi Medsos


Masa depan media sosial (medsos) dengan segala efeknya belum jelas arahnya. Medsos telah terlalu kuat mengatur di berbagai sendi kehidupan kita. Tak sedikit pejabat lebih dekat jadi abdi medsos ketimbang abdi negara.


Beberapa tahun yang lalu banyak kalangan menyarankan agar pemerintah menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik. Kini, harapan itu mulai menampakkan hasil, sejumlah pejabat lebih responsif. Namun belakangan ada efek samping, tekanan-tekanan di medsos membuat pengambil kebijakan gamang dan cenderung merespons isu-isu di media yang belum tentu penting dibandingkan berfokus menangani masalah aktual. Satu dekade penggunaan media sosial di dunia kepemerintahan. Kini kritik mulai bermunculan.

Rentetannya menjadi panjang ketika media sosial (medsos) digunakan dalam politik dan kepemerintahan. Tak sedikit pejabat yang kemudian memilih sibuk di medsos karena, toh, atasannya juga sibuk di media ini. Mereka lebih tekun memantau medsos dan merencanakan aksi di dunia maya dibandingkan bekerja menangani masalah riil.

Siapa lagi yang peduli dengan panen padi dan stok pangan? Siapa pula peduli dengan masalah tuberkulosis? Siapa peduli dengan nasib bahasa daerah yang beberapa di antaranya nyaris punah?


Masyarakat dunia maya tak bisa dipersalahkan. Pejabat yang hanya menjadi sibuk menangani tekanan-tekanan yang muncul di medsos mungkin yang perlu disorot.

Sejauh mana masalah di medsos merupakan masalah publik yang perlu dibahas dan ditangani. Sebaliknya, sejauh mana mereka menangani masalah yang tidak terlihat seksi di medsos, tetapi riil di masyarakat. Sangat boleh jadi masalah seperti ini tidak tertangani.

Sekian lama gegap gempita bermedia sosial kemudian melahirkan orang-orang yang oportunis. Mereka ingin tampil di media tersebut dan agar dianggap bekerja oleh atasannya. Seorang pejabat mengaku, ia pusing dengan kelakuan rekan-rekan kerjanya karena sebuah isi rapat bisa bocor ke luar dengan mudahnya.

Dugaannya, rekan-rekannya itu berharap dianggap bekerja oleh atasannya. Jadi, bekerja atau tidak patokannya adalah muncul di media sosial. Kebocoran sejumlah dokumen negara di medsos terjadi karena beberapa orang ingin dianggap mengetahui lebih dulu, ia ingin dianggap lebih peduli, dan mungkin agar dianggap atasan dan juga publik telah bekerja dengan baik.

Satu dekade penggunaan media sosial masif di kalangan pemerintah dan dunia aktivisme di banyak negara. Niat awal penggunaan medsos adalah mempermudah pemerintah mengetahui keinginan warganya dan juga warga mudah menyampaikan pendapatnya ke pemerintah.

Sejumlah lembaga kemudian membentuk departemen atau bagian yang mengurusi media sosial. Mereka juga menggunakan kanal itu untuk membagikan informasi publik ke khalayak sebagai bukti transparansi pemerintah. Akan tetapi, belakangan masalah yang muncul adalah terlihat adanya abdi-abdi medsos. Mereka lebih banyak mengabdi ke medsos.

Sejumlah pejabat senang dan asyik masyuk bermedia sosial untuk berbagai kepentingan. Dua hal yang jelas terlihat adalah media sosial memunculkan efek samping, yaitu sebagian masalah tak terurus dan juga melahirkan orang-orang oportunis hanya karena kepentingan sesaat. Bagaimana sebaiknya kita menangani perilaku seperti ini?

Selama ini kita cenderung melihat masyarakat kebanyakanlah yang tidak mampu menggunakan teknologi digital, salah satunya media sosial, secara benar sehingga muncul kebutuhan literasi digital. Sepertinya, dengan melihat kultur masyarakat yang masih mengandalkan patron, literasi digital lebih tepat dialamatkan ke patron itu sendiri yaitu para pejabat, tokoh masyarakat, eksekutif perusahaan, dan lainnya.
Penggunaan pelantang (buzzer) oleh elite menjadi contoh ternyata bukan masyarakat kebanyakan yang membajak kehadiran media sosial. Membuat dan membagikan kabar hoaks dipastikan awalnya bukan dilakukan orang yang bodoh atau terbelakang.

Beberapa waktu yang lalu, kalangan ahli kesehatan jiwa mengingatkan soal kecanduan media sosial. Para pemimpin perusahaan di bidang teknologi telah mengambil inisiatif bahwa mereka juga ikut bertanggung jawab untuk mengurangi kecanduan penggunaan medsos.
Mereka mengatur notifikasi yang diduga menjadi salah satu penyebab kecanduan. Akan tetapi, setidaknya kasus di Indonesia, tidak sedikit pejabat yang kecanduan bermedsos. Bagaimana kita bisa menangani masalah ini?

Hingga sekarang masa depan media sosial dengan segala efek sampingnya tak diketahui secara persis arahnya. Perusahaan teknologi dan pengamat juga mengakui hal itu. Media sosial telah terlalu kuat mengatur di hampir berbagai sendi kehidupan kita, dari urusan gosip tidak penting sampai penumbangan sebuah pemerintahan. Akibatnya, para pejabat pun lebih dekat menjadi abdi medsos dibandingkan menjadi abdi negara yang bekerja secara tuntas.


Oleh: Andreas Maryoto
Sumber: kompas.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar