Selasa, 02 Februari 2021

PEMBINA(SA)AN KOPERASI


Ketika penulis lakukan survei kecil-kecilan kepada orang awam tentang koperasi, kebanyakkan dari mereka melihatnya koperasi itu identik dengan usaha skala kecil,  simpan pinjam, dan sebagai tempat penyaluran bantuan.

Kalau dilihat dari masalah cara pandang yang paling menonjol adalah koperasi diidentikkan dengan usaha kecil kecilan.  Bahkan cara pandang ini sudah merasuk ke pemimpin republik ini.

Ini dapat dilihat dari penamaan sebuah kementerian. Koperasi dikapling secara permanen sebagai obyek pembina(sa)an sebuah kementerian, yaitu Kementerian Koperasi Dan UKM. Sudah berjalan sejak lebih setengah abad silam.

Kementerian ini dari dulu kerjanya membuat proyekan. Bikin aktifitas yang tak berguna hingga habis ratus trilyunan.

Sementara,  pekerjaan penting untuk hapuskan peraturan yang menghambat perkembangan koperasi malah tidak dipedulikan.  

Bisnis itu besar kecil soal ukuran. Sedangkan koperasi itu bentuk usahanya. Kalau bicara bentuk, kenapa tidak ada Kementerian Perseroan (PT)? Padahal PT ada yang kecil kecil juga. Ada yang jauh lebih kecil dari skala usaha koperasi.

Imajinasi masyarakat dibawa ke dalam cara pandang bahwa koperasi itu memang kecil, lemah, tak berdaya. Sehingga perlu terus  dibina bina.

Masyarakat dibawa kearah bahwa karena kecil dan lemah maka koperasi itu musti dibantu bantu dan dikasihani sepanjang masa selama lamanya.

Para pembuat regulasi dan kebijakan secara terus menerus leangengkan cara pandang ini. Ditambah bumbu slogan koperasi adalah sebagai soko guru ekonomi, basis ekonomi kerakyatan. Padahal tujuanya hanya untuk melegitimasi program pembina(sa)an.

Sehingga kita dapat lihat hasilnya, koperasi hampir saja terbina(sa)kan karena hanya jadi ajang pengembangan proyek pemerintah berpuluh tahun lamanya.

Pembina(sa)an terus dibuat dan selalu dijadikan sebagai ajang untuk proyek sampai koperasi dekat dengan sekarat.  Sampai hilang prakarsanya dan lemah motivasinya.

Masyarakat yang ingin membentuk koperasi juga akhirnya terlena dengan cara pandang ini. Mereka itu mendirikan koperasi bukan sebagai bisnis yang alamiah tapi dibentuk untuk mengejar bantuan dan sekedar iseng isengan.

Koperasi dibangun hanya sebagai mainan. Tidak ada yang mau sungguh sungguh pertaruhkan tenaga pikiran dn modalnya untuk menjawab kebutuhan hidup melalui perusahaan koperasi.

Anak anak muda yang mandiri, cerdas dan penuh semangat kewirausahaan pada akhirnya tidak mau mengembangkan koperasi. Mereka merasa bahwa koperasi tidak bisa diandalkan memberikan harapan bagi masa depan.

Hasilnya, kita defisit orang orang muda yang turut serta mengembangkan koperasi untuk jawab kebutuhan sehari hari.  

Di antara mereka bahkan menganggap koperasi itu seperti sebuah lembaga birokrasi pemerintah saja. Tidak layak untuk mereka membangun bisnis dan berwirausaha.

Koperasi kehilangan kepercayaan anak anak muda. Ditelan oleh perkembangan jaman yang semakin dinamis. Koperasi mulai banyak yang mati perlahan kehilangan daya inovasinya seturut dengan umur kematian para pendirinya, para pelakunya.

Kalau mau melihat wajah koperasi ini, silahkan saja lihat wadah gerakannya seperti Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) misalnya. Orangnya itu itu saja, dan mereka sibuk kanan kiri mencari legitimasi politik yang digunakan politisi sebagai batu loncatan semata. Ini juga dilanggengkan melalui UU Ciptakerja.

Parahnya lagi, semua produk-produk regulasi dan institusi negara yang ada mendukung kondisi mengenaskan ini juga. Undang-undang soal ekonomi yang diproduksi tidak pernah perhitungkan koperasi.

Contohnya; untuk dirikan koperasi harus 20 orang lalu jadi 9 orang sekarang. Padahal menurut International Co-operative Law Guidance atau pedoman penyusunan Undang Undang Koperasi yang diterbitkan oleh organisasi gerakan koperasi ICA (International Cooperative Alliance) jelas dan terang, koperasi bisa didirikan 2 atau 3 orang seperti dirikan perkumpulan atau Perseroan.

Contoh undang yang menghambat lainya adalah: UU Penanaman Modal untuk investasi asing wajib badan hukum PT, UU Rumah Sakit privat diwajibkan badan hukum PT, UU BUMN yang diwajibkan badan hukum PT, dan bentuk alienasi di peraturan sektoral lainya. Apa salah dan dosa koperasi ini?

Padahal kalau bicara bisnis mustinya harus dibuat pilihan. Mau badan hukum koperasi atau perseroan. Kalau tidak berarti melanggar Konstitusi karena sama dengan mendiskriminasi.

Koperasi sengaja disingkirkan, dialeniasi. Dijadikan hanya sebagai vas bunga panjangan untuk menerima belas kasihan. Koperasi benar-benar menjadi terlempar keluar dari lintas bisnis modern.

Kita dapat lihat, di Indonesia ini bukan hanya menjadi defisit kelembagaan koperasi di sektor yang baik dan besar, tapi rakyat bahkan kehilangan imajinasinya. Misalnya, masyarakat kita lupa kalau koperasi itu adalah perusahaan demokratis dan futuristik yang seharusnya lebih relevan jadi badan hukum BUMN ketimbang dalam bentuk perseroan.

Kondisi di atas tanpa perubahan cara pandang dan upaya reposisi tentu akan membuat koperasi di tanah air sulit mengalami perkembangan. Koperasi yang diharap jadi soko utama, sebagai pemberi kontribusi ekonomi terbesar, akan sulit dicapai karena terbelit citranya yang buruk.

Hal ini dapat kita lihat dari capaian yang ada saat ini. Sudah lebih dari satu abad, kontribusi koperasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) kita tak lebih dari 5 persen saja.

Itupun kontribusinya 90 persen dari usaha simpan pinjam. Usaha yang didominasi koperasi palsu alias renternir baju koperasi. Apa yang jadi kenyataan, panggang jauh dari api.

Kondisi ini diperparah lagi oleh pembiaran oleh Kementerian Koperasi dan UKM yang seharusnya turut menjaga citra koperasi. Kementerian yang diberikan mandat penuh untuk membubarkan koperasi abal abal dan papan nama sampai sekarang tidak dilakukan. Sepertinya malah terus dipelihara.

Dalam sejarah perkembangan perkoperasian di Indonesia, pemerintah selalu berada dalam posisi sebagai pengkreasi program pembina(sa)an.  Jangan jangan disengaja agar konglomerasi korporasi kapitalis semakin bebas merampas dimana mana?

Tanpa pembelajaran berarti, setiap kekuasaan berganti, mereka selalu rajin untuk mengulangi kesalahan lama dengan kemasan-kemasan baru yang hampir dapat diprediksi hasilnya setelah itu.

ICA baru saja mengumumkan 300 koperasi besar dunia. Hasilnya tidak ada satupun dari koperasi kita. Kita kalah sama Malaysia dan bahkan Kenya.

Jakarta, 30 Januari 2021

Oleh: Suroto, Pegiat Demokratisasi Ekonomi

Sumber: WAG Gerakan Desa Membangun

 

#Demokrasi
#DemokratisasiEkonomi
#Pancasila
#GotongRoyong
#PerusahaanDemokratis
#SahamUntukBuruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar